Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Mohon Izin

Kompas.com - 17/11/2009, 22:24 WIB

Oleh: Samuel Mulia

KOMPAS.com- Mohon iizin. Demikianlah yang dikatakan seorang sopir kepada teman saya ketika hendak menjawab telepon genggamnya yang berbunyi saat sedang menyetir mobil.

Permohonan itu dilakukan karena teman saya yang duduk di kursi belakang itu masuk ke dalam kategori big boss, dan di kota ”kecil” bos itu mahapenting. Yaa… sebelas duabelaslah sama penguasa dunia. Teman saya itu hendak menghadiri acara pembukaan sebuah outlet barunya.

Mohon izin adalah sesuatu yang sering dilakukan, apalagi kalau bicara dengan atasan. Ucapan mohon izin merupakan bentuk ungkapan yang didasari banyak alasan. Dari yang benar-benar sopan santun, seperti cerita sopir di atas, sampai yang mau mencari muka. Contoh yang terakhir ini memiliki manfaat ganda.

Bawahan ”Part” I

Pertama, bawahan yang melakukan terlihat santun, mirip si sopir tadi, karena menghormati atasan. Akibatnya bisa jadi positif karena bos merasa senang dianggap atasan, dianggap penting, dianggap mengerti semua hal. Apalagi, kalau atasannya memiliki kesenangan dijilat-jilat.

Tak semua bawahan merasa atasannya itu atasan dan menganggap penting dan menganggap ia mengerti semuanya. Bahkan, ada atasan yang selalu saja tidak sinkron jalan pemikirannya dengan visi dan misi perusahaan yang mengakibatkan sistem kerja, termasuk manusia di dalamnya, carut-marut. Itu salah satu sebab bawahan tak menganggap dia atasan dan manusia mahapenting.

Kedua, kalau bawahan sudah disukai atasan, semuanya beres. Bahkan, saat bos ada atau tidak ada, keputusan bisa mengalami jalan pintas. Maksud saya dengan jalan pintas, proposal dari luar sudah dijegal sebelum diletakkan sekretaris di meja big boss. Kalaupun tidak dijegal langsung, bisa jadi setelah proposal masuk ke atasan dan didiskusikan, dijegal justru setelah pertemuan itu. Tentu, dengan cara anggun.

Misalnya, bawahan berkicau, ”Oke Pak... saya pikir keputusan Bapak Bos luar biasa. Ide brilian. Tetapi, seandainya, hanya seandainya saja lho Pak, pergelaran orkestra kita dan lagu-lagunya agak lebih dipopkan, mungkin lebih enak didengar.” Itu belum selesai. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat penutup yang santun dan mengecoh. ”Bagaimana menurut Bapak? Mohon petunjuknya.”

Jadi, bawahan macam itu sudah seperti dirigen yang mengorkestrasikan agar sebuah tampilan apik kelihatannya. Sejujurnya, ia tak membutuhkan petunjuk. Ia pura-pura saja setuju supaya kelihatan tetap sopan seperti malaikat dengan memberikan bolanya kembali kepada si bos dengan kalimat mohon petunjuknya itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com