Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Mohon Izin

Kompas.com - 17/11/2009, 22:24 WIB

Padahal, jelas-jelas ia mau mengepopkan orkestra pilihan si bos yang kelewat konservatif. Jadi, si bos cuma jadi wayang, bawahannya yang jadi pengendali wayang, dan kalau bisa jadi sinden sekalian.

Bawahan ”Part” II

Bawahan yang bermain seperti dirigen tak boleh emosi, harus bisa menjaga meski kesal sekalipun, agar tujuan dapat selesai dan kemenangan di tangan. Vini, vidi, vici bukan cuma orasi Napoleon semata. Bawahan yang mampu mengontrol atasan seperti seorang istri yang bisa mengontrol suami sehingga suami jadi takut benar-benar Napoleon. Seorang penguasa.

Bawahan macam ini, atasan akan dibuat santai dan tenang di singgasana. Ia bahkan tidak bercita-cita menggantikan takhta sang big boss, ia sudah jadi big boss tanpa singgasana. Singgasana tak penting, mengontrol yang duduk jauh lebih penting.

Kemudian saya teringat cerita teman saya yang tinggal di Bangkok saat saya menanyakan soal hormat-menghormati. Ia bercerita saat menyaksikan film di bioskop, sebelum film dimulai, penonton harus berdiri untuk menghormati raja. Setiap harinya, pada pukul delapan pagi dan pukul enam sore lagu kebangsaan diperdengarkan di area publik, seperti stasiun dan pasar. Semua pejalan kaki harus berdiam diri sampai lagu kebangsaan selesai.

Saya tak tahu apakah mereka yang berdiri benar-benar menghormati. Itu urusan mereka. Yang jelas, saya mendapat pelajaran besar sebagai bawahan (baca: warga negara) saya ini patut menghormati sepenuh hati para pemimpin dan negara. Mungkin kalau mencontoh dalam penghormatan macam itu tidak ada salahnya. Jadi, sebelum menyaksikan adegan pembunuhan atau pocong beranak di gedung bioskop, penghormatan terhadap negara harus tetap dilakukan. Berdiri dan melantunkan lagu kebangsaan. Kalau kemudian nurani Anda berkeluh kesah, ”Huh? Berdiri?” Itu bukan urusan saya.

Sebagai bawahan (baca: anak), penghormatan terhadap orangtua juga dilakukan. Saya dahulu merasa melawan orangtua wajib dilakukan, apalagi kalau tak sependapat. Mungkin perdebatan itu sah-sah saja terjadi. Namanya anak, namanya orangtua. Rambut boleh sama hitam, belum tentu rambut dicat dengan warna sama. Tetapi, perdebatan tidak mengusung sebuah tujuan untuk tidak menghormati orangtua.

Saya juga baru tahu, penghormatan sebagai bawahan (masih tetap dibaca anak) kepada orangtua menghasilkan hidup seorang anak menjadi sejahtera dan berlimpah. Tidak hanya uang, tetapi juga batin yang bahagia. Sudah saya alami dalam lima tahun terakhir hidup saya bahwa kebahagiaan dan hidup sejahtera itu terjadi saat saya memutuskan untuk menghormati.

Jadi, kalau sekarang saya ditanya mengapa bisa bahagia, yaa... salah satunya menjadi bawahan yang menghormati. Mengapa bisa makmur, yaa... karena penghormatan itu, bukan sekadar dapat bunga dari deposito atau me-redeem Reksa Dana karena sudah untung, atau karena kenal sama bos A dan bos B.

Maka, kalau sekarang jadi bawahan mari kita menghormati atasan, negara, dan orangtua. Terus Anda mungkin berkicau seperti nurani saya. ”Huh? Menghormati? La wong bos gue aja kayak bajing. Loncat, loncat, loncat enggak bisa dipegang omongannya, ngapain juga menghormati. Hare gene? Menghormati bajing-bajing?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com