Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Priangan Nan Elok

Kompas.com - 24/05/2010, 21:09 WIB

 

JAKARTA, KOMPAS.com- Batik Priangan sudah ada sejak 50-100 tahun lalu, namun karena situasi ekonomi, batik yang pernah berjaya sejak taghun 1960-1980-an dan laris di Malaysia kala itu, mengalami kemunduran. Bahkan tahun 1997 kegiatan membatik Priangan, khususnya batik Ciamis, berhenti total karena kebangkrutan pengrajinnya.

Padahal, sebelum krisis moneter tahun 1997, batik Ciamis mampu bersaing di antara dominasi tradisi batik Solo, batik Yogyakarta maupun batik Pekalongan. Batik Priangan dinilai khas, karena ragam hiasnya yang kaya. Berbagai peristiwa sejarah, keadaan alam, dan tata nilai sosial-budaya menjadi sumber inspirasi para pembatik Priangan.

Demikian terungkap dalam peluncuran buku The Dancing Peacock, Colours and Motifs of Priangan Batik oleh Didit Pradito, Herman Jusuf, dan Saftiyaningsih Ken Atik (Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 2010), Senin (24/5/2010) di Bentara Budaya Jakarta. Ketiga penulis buku tersebut juga tampil pada acara talk show.

Batik Priangan adalah istilah yang digunakan untuk memberikan identitas pada berbagai batikan yang dihasilkan dan berlangsung di Priangan, daerah di Jawa Barat dan Banten yang penduduknya berbahasa dan berbudaya Sunda.

Mencakup antara lain wilayah kota dan kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya merupakan daerah-daerah di mana sisa keberadaan tradisi seni kriya batik Priangan masik terlacak.

Didit Pradito mengatakan, batik Priangan dalam proses perkembangan dan penyebarannya terjadi proses saling mempengaruhi di antara batik berbagai daerah. Hasilnya dapat terlihat dalam karakter penggambaran motif yang mengandung makna simbolik, yang merupakan stilasi dari berbagai bentuk yang berasal dari alam, flora, fauna, maupun aneka peristiwa.

"Secara keseluruhan, kesan yang didapat saat melihat selembar batik Priangan adalah kesan cantik-molek, bahkan sedikit genit, yang mungkin selaras dengan citra umum orang Sunda," katanya.

Saftiyaningsih Ken Atik mengatakan, pada masa jayanya, Ciamis memiliki dan menghasilkan kain batik dengan kualitas baik. Masa keemasan batik Ciamis berlangsung pada era tahun 1960-an hingga awal 1980-an. Bahkan, tahun 1939 sudah ada Koperasi Rukun Batik, yang menghimpun 421 pengrajin dari 1.200 pembatik.

Kesederhanaan corak batik Ciamis tak lepas dari sejarah keberadaannya yang banyak dipengaruhi daerah lain, seperti ragam hias pesisiran dari Indramayu dan Cirebon. "Selain itu, pengaruh batik nonpesisiran, seperti dari Solo dan Yogyakarta juga turut andil dalam membentuk karakter warna dan komposisi motif batik Ciamis-an yang sering juga disebut batik Sarian," katanya.

Herman Jusuf yang membahas batik Garut mengatakan, pembuatan batik tulis Garut tidak sehalus batik Solo atau batik Yogyakarta, yang lebih rinci mengolah isen-isen batiknya.

"Walaupun demikian, keahlian para pembatik dalam menangkap beragam peristiwa dengan memadukan ragam hias dan warna lembut khas Garut-an menjadikan batik Garut tampak unik dan indah," ujarnya.

Keunikan dan keindahan batik Priangan, dipamerkan hingga tanggal 30 Mei mendatang di Bentara Budaya Jakarta. Ada sekitar 100 helai kain batik Priangan milik para kolektor di Jakarta dan Bandung, Museum Tekstil Jakarta, serta milik pembatiknya yang masih tersisa di Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya.

Sebagian merupakan kain batik yang tegrolong antik, dengan warna-warni dan motif-motif yang tidak lagi dibuat sekarang ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com