Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilih Nyawa atau Devisa?

Kompas.com - 27/11/2010, 04:21 WIB

Kedua, penelantaran TKI di Saudi sekian lama adalah pengingkaran atas hak warga. Pelanggaran hak yang bersifat pasif ini bertentangan secara mendasar dengan kaidah tasharuff al imam ’ala al raiyyah manuthun bi al mashlahah. Segala kebijakan pemerintah harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat. Maka, penyedotan devisa dari saku TKI oleh pemerintah sambil mengingkari hak warga negara para TKI jelas tak bisa dibenarkan.

Ketiga, pemerintah kerap menyebut bahwa pilihan menjadi TKI adalah hak warga negara yang menyangkut kebebasan menentukan penghidupan layak. Namun, dalam kenyataannya, seseorang menjadi TKI sering bukan karena kemerdekaan pilihan. Menjadi TKI justru merupakan keterpaksaan akibat impitan ekonomi di kampung halaman. Islam menganjurkan min sa’adati islaamil mar-i an yakuuna rizquhu fi baladihi, pencarian seorang mukmin tergelar di tanah airnya. Kini ungkapan subur sarwa tinandur-murah sarwa tinuku (serba subur-serba murah) hanya tinggal ungkapan yang kian jauh dari kenyataan.

Maka, lonjakan jumlah TKI tak lain merupakan akumulasi dari kegagalan agenda menyejahterakan rakyat. Mestinya pemerintah beriktikad kuat, misalnya, menarik dana BLBI yang dikemplang. Dana BLBI cukup membuka lapangan kerja setidaknya bagi 10 juta jiwa.

Keempat, sebagian pihak sering menyederhanakan tragedi demi tragedi yang menimpa TKI di Arab Saudi sekadar akibat dari perbedaan budaya. Penyederhanaan ini batal oleh kenyataan bahwa watak banyak penduduk Saudi justru tak berbudaya. Pengalaman 14 tahun tinggal di Arab Saudi membuat saya bisa memastikan berbagai wujud kejahiliahan baru di negeri minyak ini.

Gemar memperbudak

Salah satu karakter yang umum di kalangan orang Saudi ialah gemar memperbudak, tetapi tak mau diperbudak. Manusia dianggap milik yang bisa diperlakukan manasuka. Watak ini bertahan dan mengakar berabad-abad. Peradaban Islam di Timur Tengah tampaknya belum berhasil melanjutkan misi kenabian Muhammad dalam menghapus perbudakan.

Sebagai Muslim tentu saya merasa malu mengapa perlakuan tak manusiawi bisa terjadi di Arab Saudi. Hal yang jauh berbeda justru saya saksikan, misalnya, di Taiwan, yang memperlakukan TKI lebih bermartabat. Di mata orang Taiwan, para TKI bekerja dalam konteks profesi, sementara di Saudi TKI dianggap sebagai budak yang dimiliki. Di Saudi jangankan mencari perlindungan ke kedutaan, nyaris semua TKI di Saudi yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tak diizinkan majikannya bisa mengakses dunia luar.

Permasalahan tak dibayarnya gaji TKI juga menjadi masalah yang kerap kali terjadi. Padahal, Rasulullah juga telah bersabda, ”Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya.” Hadis sahih diriwayatkan Ibnu Majah. Dan kenyataan ini semakin menjauhkan Saudi dari nilai-nilai yang telah diajarkan atau disabdakan Rasulullah.

Kita tahu bahwa selama ini kecenderungan pemerintah menangani permasalahan TKI sering kali reaksioner dan minimalis. Kalaupun hari ini pemerintah belum bisa berbuat banyak, yang bisa dituntut dalam waktu dekat ini sederhana saja: penghentian segera pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dalam hemat saya, langkah ini paling tepat jika mempertimbangkan kompleksitas masalah yang ada. Bagaimanapun pemerintah harus mendahulukan keselamatan satu nyawa, bahkan jika harus dibandingkan dengan satu triliun rupiah suntikan devisa.

Said Aqil Siroj Ketua Umum Pengurus Besar NU

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com