Kuntoro berpendapat, lambannya kemajuan penanganan kemacetan di Jakarta terjadi karena minimnya koordinasi antarinstansi. Koordinasi di satu kementerian, misalnya, masih relatif mudah dilakukan.
Namun, jika koordinasi itu melibatkan dua kementerian, persoalan menjadi rumit. Kesukaran makin bertambah jika koordinasi antarinstansi berada di bawah kementerian koordinasi yang berbeda. ”Kalau kondisi ini terus terjadi, kemacetan di Jakarta akan terus terjadi sampai kapan pun. Inilah yang kita hadapi di level kota,” papar Kuntoro.
Sayangnya, hingga kini belum ada mekanisme sanksi untuk mendorong kinerja kementerian atau pemerintah daerah dalam mewujudkan langkah-langkah mengurai kemacetan.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono mengatakan, Pemprov DKI sudah menjalankan berbagai upaya. Namun, beberapa kebijakan tidak mendapat dukungan pihak lain. Kajian teknis penerapan ERP, misalnya, tidak teralokasi dalam APBD 2011 karena belum terbit peraturan pemerintah mengenai ERP. Akibatnya, rencana kerja yang lain juga belum dijalankan.
Pengaturan truk sempat terhambat karena menunggu keputusan dari Kementerian Perhubungan. Padahal, pengaturan truk merupakan upaya mengurangi kemacetan.
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Ofyar Tamin, berpendapat, pemerintah perlu memfokuskan diri pada upaya penanggulangan kemacetan. ”Dari 20 langkah itu, prioritasnya belum rapi,” katanya.
Contohnya pembangunan jalan tol tambahan sebagai kebijakan yang mendukung keberadaan kendaraan pribadi, sementara ada kebutuhan mengembangkan perkeretaapian Jabodetabek. Pemerintah harusnya fokus pada perbaikan transportasi umum.
Perbaikan transportasi publik ini mendesak sebelum dilakukan berbagai pembatasan kendaraan pribadi. Jika tidak, pengguna kendaraan pribadi yang ingin beralih ke transportasi publik malah tidak tertampung moda angkutan umum yang ada.