Menyongsong penilaian tahap II mulai April nanti, Jakarta Barat bertekad mengubah rapor merah itu menjadi hitam. ”Suku Dinas PU Tata Air harus bekerja keras,” kata Sukarno.
Menanggapi penilaian Adipura ini, pengamat perkotaan Nirwono Joga saat dihubungi mengatakan, tidak mengherankan Jakarta Barat paling kotor karena nyaris tidak ada perubahan dalam kebersihan lingkungan.
”Saya mengamati, beberapa tahun belakangan ini, Jakarta Barat tidak banyak perubahan. Secara kasatmata saja terlihat kota itu tidak layak huni. Saluran air mampet, air sungai hitam, dan permukiman padat pun kumuh,” paparnya.
Jakarta Barat harus melakukan perubahan besar-besaran jika ingin dianggap sebagai kota yang layak meraih Adipura. Tahun lalu, Jakarta Barat juga tidak meraih Adipura.
Kalau ada perubahan, itu berarti lingkungan lebih bersih, tidak ada lagi sampah di pinggir jalan atau di sungai. Sampah di TPA pun terolah.
Lebih jauh, Nirwono menilai, pemberian Adipura ini sering hanya bersifat politis dan seremonial. Adipura belum benar-benar menjadi indikator bahwa pemerintah kota benar-benar serius menjadikan kotanya bersih dan hijau.
”Belum ada keberlanjutan program setelah Adipura diserahkan. Dulu ada Program Kali Bersih, program pembersihan kali, tetapi sekarang tidak berlanjut,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus memberikan solusi kepada kota yang dianggap kurang dalam penilaian Adipura. Solusi untuk perbaikan itulah yang belum diberikan Pemerintah Provinsi atau pemerintah pusat kepada kota yang dianggap kotor.
”Kita lihat saja setahun ke depan, setelah Adipura diserahkan, apakah ada perubahan. Saya, kok, meragukan,” kata Nirwono.(fro)