JAKARTA, KOMPAS.com -- Kebijakan pemerintah melibatkan TNI untuk menghadapi masyarakat yang menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, dapat menimbulkan masalah baru. Jika tetap ingin menaikkan harga BBM, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengintensifkan komunikasi dengan semua elemen masyarakat untuk menjelaskan alasan kebijakan tersebut.
Politisi dari Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, pengerahan pasukan TNI untuk mengamankan unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM memang dimungkinkan. "Namun masalahnya bukan sekadar diperbolehkan undang-undang atau tidak. Masalah utamanya ada pada kualitas kearifan pemerintah dalam merespons kegelisahan massa di alam demokrasi. Jika masyarakat berunjuk rasa, mereka ingin agar aspirasinya tak sekadar didengar tetapi juga ditanggapi," kata Bambang yang juga anggota Komisi III DPR ini, Minggu (25/3/2012) di Jakarta.
Bambang mengingatkan, masalah justru dapat semakin tereskalasi jika pemerintah menurunkan pasukan TNI untuk menghadapi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM. Pasalnya, dengan menurunkan pasukan TNI, pemerintah telah menunjukkan tidak mau menjawab atau merespons aspirasi rakyat. Bahkan, masyarakat bisa menuduh pemerintah telah menakut-nakuti mereka dengan menurunkan pasukan TNI.
Dengan demikian, kata Bambang, menurunkan pasukan TNI bukan hanya kontraproduktif. Namun juga memperlihatkan perilaku pemerintah yang amatiran dan tidak bijaksana. Prinsip musyawarah untuk mufakat tidak diaktualisasikan.
"Kecenderungan yang terlihat dalam kebijakan mengerahkan TNI adalah pemerintah memilih menggunakan otot dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Jika demikian, apa beda antara pemerintah dengan kelompok tertentu yang terbiasa mengerahkan massa untuk menakut-nakuti lawan mereka?" papar Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.