JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak ada cara lain untuk menciptakan ketertiban kecuali dengan menarik seluruh peredaran senjata api di kalangan masyarakat sipil tanpa terkecuali yang dimiliki anggota DPR RI.
"Hukum secara tegas dan transparan penyalahgunaan senjata api baik yang melibatkan warga sipil maupun aparat TNI seperti dalam kasus Koboi Palmerah dan Polri, seperti kasus yang menimpa mantan Kapolda Metro Jaya pada 19 Desember tahun lalu," kata Ketua BP Setara Institute Hendardi dalam siaran persnya hari Senin (7/5/2012).
Hendardi mengungkapkan, aksi premanisme dengan menodongkan senjata api yang dilakukan oleh Iswahyudi hanyalah salah satu contoh aksi koboi yang dilakukan oleh masyarakat karena kelewat percaya diri dengan memegang senjata api.
"Peristiwa lain yang tidak terekspos jauh lebih banyak. Peredaran senjata di kalangan sipil merupakan bentuk privilege negara terhadap mereka yang berpunya untuk 'membeli' senjata api. Dispensasi yang diberikan atas dasar kemampuan membayar bukanlah pertimbangan obyektif seseorang boleh memegang senjata api," katanya.
Peredaran senjata api di kalangan masyarakat sipil dengan alasan apapun hanya membuktikan aparat keamanan, polisi tidak mampu menjalankan fungsi keamanan sesuai wewenang tugasnya. Seharusnya, setiap warga negara yang merasa terancam keselamatannya cukup memberi tahu polisi untuk melindungi, karena tugas utama polisi adalah melindungi keamanan warga negara.
Peredaran senjata api, nyata-nyata hanya menebarkan teror bagi mereka yang tidak berpunya dan lemah. Yang terjadi bukan malah untuk melindungi diri, tapi untuk menunjukkan bahwa dirinya digdaya dibanding dengan yang lain.
Perilaku semacam ini bukan hanya tidak pantas bagi para pengusaha dan pribadi berpunya, tapi juga tidak pantas bagi anggota DPR RI yang beberapa diantaranya merasa “gagah” dengan menenteng senjata api.
Penarikan senjata api dari masyarakat sipil pada 2007 ternyata hanya seremonial yang tidak pernah tuntas karena pada dasarnya peredaran senjata api dan perizinannya merupakan bagian praktik bisnis di kepolisian. Faktanya, masih sekitar 1700-an senjata api beredar di tengah masyarakat dengan alasasn masa izin yang belum habis.
Selain di kalangan masyarakat sipil, akuntabilitas penggunaan senjata api juga tidak pernah dilakukan secara transparan. Ketika banyak peristiwa penyalahgunaan senjata api oleh oknum Polri dan TNI, penghukuman tidak pernah dilakukan secara tegas. Penindakan hanya berujung pada pengenaan sanksi disiplin yang tidak membuat jera si pelaku.
"Penindakan atas brutalisme di kalangan TNI khususnya, tidak akan pernah menampilkan wajah keadilan karena TNI tidak tunduk pada peradilan umum yang fair. Peradilan militer yang selama ini digelar sebagai instrumen hukum bagi anggota TNI hanyalah dagelan peradilan yang dilegitimasi negara untuk memanjakan TNI yang tetap dianggap warga negara yang supreme," demikian Hendardi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.