Pembangunan perekonomian di Jakarta dinilai Jokowi masih jauh dari harapan. Hal itu terlihat dari adanya ketimpangan yang besar. Pelaku ekonomi besar mendapat porsi dan prioritas besar dalam pembangunan sehingga bertumbuh pesat. Sebaliknya, pelaku ekonomi skala kecil terbiarkan atau kurang mendapatkan perhatian, bahkan terkesan dihalang-halangi. Hal itu terlihat dari keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang selalu diusik dan digusur. Kalaupun relokasi dilakukan, PKL ditempatkan di lokasi yang tak menguntungkan sehingga kembali berjualan di tempat semula.
Seandainya terpilih menjadi gubernur DKI, Jokowi memastikan lebih memfokuskan pada kelas ekonomi kecil dan menengah. Sebagai orang yang berlatar belakang pengusaha, Jokowi sadar sepenuhnya bahwa pelaku ekonomi besar sudah sangat mudah mengakses permodalan sehingga tidak harus dibantu pemerintah.
Atas pertimbangan itu pula, dia memberdayakan PKL di Solo. Dalam menata PKL, pendekatan kemanusiaan dikedepankan. Pemerintah juga transparan dan memastikan lahan gusuran benar-benar digunakan sesuai dengan fungsi. ”Jika penggusuran ditujukan untuk merevitalisasi lahan hijau, jangan pernah nantinya digunakan untuk mal,” ujarnya.
Pendekatan itu pula yang dilakukannya ketika menggusur PKL barang bekas di Taman Banjarsari. Hampir tidak ada gejolak saat merevitalisasi lahan PKL yang sudah dihuni lebih dari 20 tahun. Sebelum ditertibkan, para PKL diajak bicara. Tidak hanya sekali, tetapi 54 kali. Setelah tujuh bulan dilakukan pendekatan kemanusiaan, para PKL pun akhirnya mau pindah dengan sendirinya. ”Tidak usah pakai
Sudah 23 tempat PKL di Solo yang direlokasi tanpa masalah. Kini malah banyak PKL lain yang meminta direlokasi. Disebabkan keterbatasan anggaran, ada 38 persen PKL yang belum direlokasi.
Setelah ekonomi skala kecil dan menengah tertata dan terbangun, pemerintah juga berkewajiban menjembatani pelaku ekonomi kecil, menengah, dan besar.
Kunci lain dari keberhasilan pembangunan dan penataan Jakarta, menurut Jokowi, adalah penataan birokrasi pemerintahan. Biasanya, pelaksanaan pembangunan banyak terkendala karena birokrasinya yang lebih mengutamakan administrasi ketimbang penyelesaian masalah.
Ada perbedaan mendasar penyelesaian suatu masalah oleh pelaku usaha dengan pemerintah. Kalangan pengusaha selalu mencari penyelesaian masalah dengan cara sesimpel dan seefisien mungkin, sedangkan kalangan pemerintahan lebih mengedepankan tahapan aturan. Meskipun anggaran ada, kalau aturan tidak terpenuhi, pembangunan tak bisa dijalankan. Akibatnya, pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dua minggu, bisa tertunda hingga dua tahun.