Acara bukber juga strategis untuk mengakomodasi bermacam-macam kepentingan. Pejabat dan instansi negara tak ketinggalan menggelar acara bukber, juga para politisi.
Selama bulan Ramadhan, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo—kerap dipanggil Foke—yang juga calon gubernur (cagub) pada pemilu kepala daerah tahun ini, bukber keliling setiap hari. Seusai berbuka di satu lokasi, ia melanjutkan dengan Tarawih di lokasi berbeda.
”Menghadapi putaran kedua. Saya titip itu saja. Niat saya jadi gubernur baik. Doakan saya,” ujar Foke di acara bukber anggota Koperasi Wahana Kalpika, di Pulogadung, Rabu (1/8).
Cagub DKI Jakarta lainnya, Joko Widodo—biasa disebut Jokowi—melewatkan lebih dari sepekan pertama Ramadhan untuk umrah. Jumat lalu ia diundang Kelompok Diskusi Indovasi bentukan alumni Institut Teknologi Bandung untuk bukber pertama di Jakarta. Namun, mendadak ia mengabarkan baru bisa tiba di tempat acara sekitar pukul delapan malam.
”Jokowi ketahan di Lenteng Agung. Ya, kami tunggu saja. Malah nanti bisa diskusi sampai malam sama Jokowi. Kayaknya bakal banyak bahas infrastruktur nih, kami di sini kan kebanyakan engineer,” ujar Adam Wahab, salah seorang tamu.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra menegaskan, bukber di Indonesia memang fenomena kultural, tidak lagi hanya milik masyarakat Muslim negeri ini. ”Ini tradisi yang baik untuk mempererat kohesivitas sosial masyarakat kita,” ujarnya.
Meski demikian, Azyumardi mengingatkan, kemasan bukber kadang jadi pengalih perhatian dari ibadah puasa itu sendiri. Di sisi lain, acara ini juga jadi incaran komodifikasi yang mendongkrak konsumsi.
”Akhirnya berpulang pada diri sendiri, bagaimana kita menghadapi godaan hedonisme dan dorongan konsumsi. Komodifikasi agama itu sebenarnya kita hadapi di mana saja, setiap hari, bukan hanya saat berpuasa,” ujarnya.