Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Cyberdemocracy" dari DKI

Kompas.com - 08/12/2012, 02:06 WIB

Oleh Gun Gun Heryanto

Salah satu topik hangat di jejaring sosial yang ramai dibicarakan dan mengundang polemik masyarakat adalah aksi Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang mengunggah rapat-rapatnya dengan jajaran birokrat Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta ke YouTube.

Video rapat Basuki dengan Dinas Pekerjaan Umum misalnya, sudah dilihat lebih dari 1,2 juta netizen. Hingga tulisan ini dibuat (25/11/2012), video itu disukai 14.610 netizen, sedangkan yang tak suka hanya 213. Ada juga video rapat Basuki dengan Dinas Perhubungan, silaturahim dengan jajaran PNS, dan sejumlah rapat dengan pejabat teras di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Benarkah ini penanda dimulainya Jakarta baru yang transparan? Demokrasi yang mulai adaptif dengan pemanfaatan dunia siber sebagai saluran informasi sekaligus terobosan mengubah wajah kekuasaan.

Birokrasi partisipatoris

Pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Basuki terpilih dari sebuah pilkada yang demokratis. Ekspektasi publik luar biasa tinggi sehingga banyak pihak menanti cara-cara yang tak biasa dalam menakhodai Pemprov DKI yang lama menjadi birokrasi elitis.

Salah satu kelemahan elementer dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih adalah soal akses informasi untuk publik. Misalnya soal anggaran: mulai dari perencanaan, distribusi dan alokasi, hingga evaluasi pelaksanaannya.

Ketertutupan informasi merupakan pintu masuk kleptokrasi. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Istilah kleptokrasi sendiri dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi sambil memegang jabatan publik.

Kleptokrasi menjadi mapan, bahkan memberi imunitas bagi para pelakunya karena ditopang oleh rezim tertutupan informasi. Birokrasi elitis menjadi benteng pertahanan kokoh para koruptor yang bersembunyi di balik sejumlah aturan dan protokoler yang menjauh dari partisipasi publik. Singkatnya, kebijakan publik yang lahir dari sistem oligarki benar-benar menjadi cara jitu para koruptor untuk bancakan uang rakyat setiap saat.

Jokowi-Basuki tentu sangat sadar bahwa modal sosial yang sekaligus menjadi modal politik mereka hingga mampu menjadi pemimpin DKI adalah kepercayaan publik. Wajar jika tantangan paling nyata bagi mereka saat ini adalah mengelola harapan publik dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang mereka miliki untuk menunaikan janji-janji kampanye secara bertahap.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com