Jakarta, Kompas -
Demikian rangkuman diskusi terbatas para pakar dan pengamat tentang mutilasi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Sabtu (9/3). Diskusi membahas disertasi doktor, Komisaris Besar Mohammad Fadil Imran, yang berjudul ”Pola Kejahatan Pembunuhan yang Disertai Memotong Bagian Tubuh Korban di Jakarta: Perspektif Pilihan Rasional Pelaku”.
Dalam disertasinya, Fadil menganalisis lima kasus mutilasi di Jakarta yang antara lain mengurai kondisi pendidikan dan ekonomi para pelaku.
Para pelaku itu adalah Zaki Afrizal Nurfaizin (25), pemutilasi Atikah Setyani pada pertengahan Januari 2008 di Hotel Bulan Emas, kamar 17 AB, Jalan Berdikari Nomor 82, Rawa Badak, Jakarta Utara; dan Baekuni (48), yang memutilasi belasan anak jalanan di wilayah Jakarta Timur (Jaktim), sampai terungkap awal Januari 2010.
Lainnya, Very Idham Henyansyah alias Ryan (31), yang memutilasi Hery Santoso (40), pertengahan Juli 2008, di satu apartemen di Depok, Jawa Barat; Muryani (53), yang memutilasi suaminya, Karyadi, di Susukan, Ciracas, Jaktim, akhir Oktober 2010; serta Sri Yanti (48), yang memutilasi suaminya, Hendra (44), pada akhir 2008 di Kampung Triti, Desa Karet, Kecamatan Sepatan, Tangerang, Banten.
Fadil mencatat, dari lima pelaku mutilasi yang ia teliti, tiga orang lulusan setara SMP dan dua orang jebolan setara SMA. Empat di antaranya bekerja
Pendapatan mereka tidak tetap. Apabila dirata-rata, yang mereka terima setiap bulan Rp 500.000-Rp 600.000.
Menurut psikolog Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Nur Cahyo, dan Psikolog Universitas Indonesia (UI) yang mengambil spesialisasi perilaku seksual Zoya Amirin, mutilasi merupakan cerminan ekspresi ledakan kemarahan yang tak terkontrol. Hal ini terjadi karena para pelaku berpendidikan rendah dengan tingkat kehidupan rohani yang rendah pula.
”Puncak kemarahan orang yang normal itu bisa sampai pada titik orang membunuh. Akan tetapi, kalau orang sudah meninggal masih dipotong-potong, menunjukkan perilaku kebinatangan,” ucap Nur Cahyo.
Meskipun demikian, pakar hukum pidana material UI, Dr Ganjar Bonaventura, mengingatkan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembunuhan atau pembunuhan yang disertai mutilasi, jeratan pasalnya masih sama. KUHP hanya membedakan pembunuhan spontan atau pembunuhan berencana.
”Oleh karena itu, kasus pembunuhan disertai mutilasi sama hukumannya dengan kasus pembunuhan tanpa mutilasi,” tuturnya.
Untuk menekan kasus ini, menurut kriminolog UI, Prof Adrianus Meliala, harus ada usaha memperbaiki tingkat pendidikan dan lingkungan fisik serta lingkungan sosial warga kelas bawah menjadi lebih sehat.
”Substansi beragama atau hidup spiritual juga harus muncul dalam kehidupan sehari-hari, bukan cuma seremoni atau ritual agama saja,” ujar Nur Cahyo.(WIN)