Apabila BOP dihapuskan, perlu dipikirkan pembiayaan gaji guru honor dan kegiatan sekolah yang selama ini gratis.
Pemprov DKI Jakarta juga perlu mengkaji program ini tepat sasaran atau tidak. Bisa jadi memang sebagian peserta didik tak perlu ditolong dengan dana BOP. Kajian juga perlu dilakukan guna melihat komposisi BOP 100 persen untuk sekolah negeri dan 30 persen untuk sekolah swasta.
”Apakah komposisi ini sudah benar atau tidak. Ini yang perlu dilihat, jangan buru-buru menghapus,” katanya.
Sementara itu, sebagian kalangan menilai rencana ini terlalu prematur. Agus Sutiyono, pengamat pendidikan Universitas Negeri Jakarta, meminta Pemprov DKI membatalkan penghapusan BOP karena pemerintah belum menyiapkan instrumen pendukung, seperti pengganti sumber dana sekolah dan pengawasan.
”Mohon dipikirkan dari mana pendanaan sekolah jika BOP dihapus. Rencana ini masih cacat sebab mekanisme pengganti BOP dan pengawasan belum ada,” katanya.
Selama ini, BOP merupakan sumber dana utama pengelolaan sekolah. Jika dihapus, dia khawatir pihak sekolah kesulitan mencari biaya operasional. Sementara menyerahkan pendanaan pada partisipasi warga belum jelas teknisnya.
Penghapusan BOP juga bisa memberatkan orangtua dan sekolah. Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Uchok Sky Khadafi yakin, pihak sekolah akan kesulitan mencari pendanaan. Mereka bisa menarik biaya lebih banyak ke orangtua.
Dia menyarankan Pemprov DKI mengintegrasikan BOP dan Kartu Jakarta Pintar. ”Ini langkah yang lebih baik daripada mengevaluasi BOP yang ujungnya menambah beban orangtua siswa,” kata Uchok.