Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisasi Upah Buruh

Kompas.com - 01/05/2013, 02:21 WIB

Apindo DKI walk out ketika pengambilan rekomendasi ini meski mereka aktif terlibat seluruh tahap survei harga yang dilaksanakan sejak awal 2012. Namun, Kepala Dinas Tenaga Kerja DKI menilai ketidakhadiran Apindo tidak mengurangi keabsahan rekomendasi Dewan Pengupahan sebab sudah kuorum.

Gubernur Jokowi kemudian memutuskan UMP DKI 2013 menjadi Rp 2,2 juta. Nilai ini langsung dipersoalkan pengusaha di dalam Apindo karena dianggap terlalu tinggi. Sementara itu, buruh menilai kenaikan se- besar 43,87 persen dari UMP tahun sebelumnya lebih sebagai penyesuaian dari ketertinggalan upah yang selama ini terjadi di DKI, yang selalu berada di bawah nilai KHL.

Sejumlah daerah penyangga DKI juga menetapkan upah minimum yang nilainya kurang lebih sama dengan DKI. Depok Rp 2.042.000; Bekasi dan Bogor Rp 2.002.000; Tangerang sama dengan DKI; dan Tangerang Sela- tan bahkan sedikit lebih tinggi dari DKI dengan Rp 2.202.000.

Hal sama tidak terjadi di Jawa Tengah. Di Semarang, misalnya, upah minimum Rp 1.209.000, sedikit lebih dari separuh upah minimum DKI.

Bagi Apindo, situasi ini mendorong hengkangnya 90 perusahaan dari DKI ke Jawa Tengah. Bagi serikat buruh, ini merupakan arena perjuangan baru di mana buruh Jawa Tengah perlu dibantu menaikkan upahnya. Ini menunjukkan betapa politisnya penetapan upah minimum itu.

Tulisan ini tidak sepenuhnya menolak model ekonomi dalam analisis upah minimum, tetapi menekankan pentingnya politik sebagai alat analisis untuk mengimbangi pendekatan ekonomi dalam melihat kebijakan upah. Pemahaman terkait bagaimana kebijakan negara dibentuk itu penting untuk pemahaman yang lebih besar terhadap isu upah buruh. Kebijakan negara tidak bisa tidak adalah tanggapan terhadap dinamika politik dari berbagai kekuatan yang ada di dalam masyarakat.

Untuk saat ini, buruh sedikit mendapat angin, setidaknya yang di Jakarta dan sekitarnya. Namun, itu tak terjadi di seluruh daerah. Peran pemerintah pusat penting untuk mencari keseimbangan upah yang lebih adil di seantero negeri yang, sayangnya, belum cukup dilakukan.

Akhirnya, seperti ditulis Levin-Waldman (2001): ”Upah minimum bukan tentang beberapa kehilangan pekerjaan sehingga yang lain dapat memperoleh kenaikan upah secara langsung. Lebih dari itu, ia tentang apa yang kita, komunitas politik, percayai sebagai apa yang seharusnya produk akhir dari kerja. Apakah kita percaya bahwa kita punya kewajiban memastikan bahwa mereka yang bekerja—bahkan di pekerjaan yang paling tidak menarik—akan mendapat upah yang cukup untuk hidup? Upah minimum mengangkat pertanyaan: apa yang kita sebagai sebuah komunitas merasa berutang kepada mereka yang bekerja?”

SURYA TJANDRA Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com