Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Basuki: Hanya IPAL yang Dibangun

Kompas.com - 21/05/2013, 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menekankan fungsi Waduk Pluit sebagai tempat menampung air. Bangunan yang diizinkan berdiri di sekitar waduk sebatas sarana umum, fasilitas rekreasi, dan penghijauan.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Senin (20/5), menegaskan, Pemprov DKI hanya akan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) setelah waduk itu dinormalisasi. ”Air yang masuk ke laut harus sudah dalam kondisi baik, makanya kami akan bangun IPAL di Waduk Pluit,” katanya.

Air yang sudah diolah dapat menambah suplai air baku Jakarta, karena saat ini kekurangan sumber air baku. ”Bayangkan kalau Waduk Pluit dinormalisasi, bisa tampung 6 juta meter kubik air. Luasnya 80 hektar,” ujarnya.

Basuki menambahkan, kalau ada yang mau membuat kafe atau restoran, silakan bangun di tengah waduk, jadi semacam restoran terapung. ”Boleh saja, untuk sekadar tempat bermain atau rekreasi. Yang lain sebatas fasilitas umum, seperti toilet umum,” katanya.

Basuki juga menolak permintaan warga di Waduk Pluit yang meminta ganti rugi Rp 3 juta per meter persegi. Apabila uang ganti rugi diberikan, lanjut Basuki, Pemprov DKI mengajarkan hal yang salah. ”Itu seperti mengatakan, bangunlah di tanah negara. Kalau digusur, nanti akan dapat uang. Itu pelajaran yang salah,” tuturnya.

Normalisasi Waduk Pluit diperkirakan memakan waktu hingga dua tahun. Waktu selama itu, selain dibutuhkan untuk membersihkan Waduk Pluit, juga untuk membangun rumah susun bagi warga yang direlokasi.

Budi Santoso dari Bidang Penyelesaian Laporan/Pengaduan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Senin kemarin, mengatakan, kasus sengketa lahan antara warga dan pemerintah cukup banyak di Indonesia. Di Jakarta, selain kasus Waduk Pluit, masih ada kasus Tanah Merah yang hingga kini belum selesai.

Awal 2013 ini, ORI menerima pengaduan dari pedagang di 16 stasiun di Jabodetabek. Para pedagang mempertanyakan penggusuran kios di setiap stasiun. Versi pedagang, sudah ada perjanjian jual-beli ataupun kontrak resmi dengan pihak dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). Akan tetapi, PT KAI menyatakan, penggunaan lahan itu ilegal.

”Terlalu banyak dan seringkali yang terjadi adalah adu pendapat berkepanjangan, sementara kasus tak selesai. Saran saya, kasus seperti ini dibawa saja ke pengadilan. Biar hakim yang memutuskan,” kata Budi.

Menurut dia, gugatan sengketa lahan termasuk gugatan perdata, dan hakim tidak berhak menolak. Di persidangan, pihak pemerintah ataupun warga bisa saling memaparkan bukti nyata, bukan sekadar argumen. Hakim akan memutuskan siapa yang secara sah di mata hukum sebagai pemilik lahan. (FRO/NEL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com