Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liberalisasi Sektor Jasa ASEAN

Kompas.com - 11/06/2013, 02:38 WIB

Itu berarti, negara asal memiliki otoritas untuk mengesahkan kualifikasi dan pelatihan dengan cara memberikan diploma atau sertifikat. Namun, harus pula dicatat bahwa pengakuan yang diberikan melalui MRA tidak otomatis. Ada proses dan konsensus untuk penentuan standar dan syarat lain yang diterapkan baik di negara penerima maupun di negara asal. Dengan kata lain, MRA tak langsung memberikan hak melaksanakan suatu profesi. Pengakuan tidak memberikan jaminan bahwa akan ada akses pasar.

Meski tak langsung memberikan jaminan akses pasar, MRA merupakan langkah awal penting mempromosikan perpindahan tenaga kerja terampil itu. Sejauh yang dicermati, capaian ASEAN dalam kaitan dengan MRA ini cukup baik. Setidaknya saat ini ASEAN telah menyepakati delapan MRA, antara lain mencakup profesi seperti jasa teknik, arsitek, jasa keperawatan, praktisi medis-dokter, praktisi dokter gigi, jasa akuntan, hingga profesi penyigian. Upaya lanjutan terus dilakukan untuk menciptakan puluhan MRA lainnya.

Tantangan

Tentu saja liberalisasi sektor jasa ini dapat dilihat sebagai ancaman. Kompetisi di pasar tenaga kerja pasti semakin meningkat. Namun, karena telah menyatakan komitmennya mewujudkan KEA pada 2015, tak ada lagi kemungkinan bagi Indonesia mundur. Karena itu, istilah yang lebih tepat barangkali bukanlah ancaman, melainkan tantangan. Identifikasi yang dilakukan menunjukkan ada empat tantangan utama.

Pertama, mengaitkan agenda mobilitas pekerja terampil dengan tidak terampil. Sebenarnya mobilitas tenaga kerja Indonesia di intra-ASEAN sangat tinggi, tetapi untuk yang tak berkeahlian. Indonesia adalah pengekspor tenaga kerja tidak terampil terbesar di antara negara ASEAN. Namun, gagasan KEA hingga kini belum (tidak) mengakomodasi kepentingan pekerja tidak berketerampilan khusus itu. Barangkali dalam dua tahun yang masih tersisa, pengaitan dua agenda ini cukup strategis untuk melindungi pekerja tidak terampil Indonesia di beberapa negara anggota ASEAN.

Kedua, isu tentang inflow dan outflow pekerja terampil tidak merupakan isu besar di Indonesia. Isu inflow tidak signifikan karena ekonomi nasional Indonesia masih didominasi, bersandar, dan digerakkan oleh sektor pertanian dan pertambangan. Isu outflow juga tidak terlalu penting karena sedikitnya jumlah angkatan kerja profesional dan keterbatasan dalam penggunaan bahasa Inggris.

Indonesia sangat berbeda dengan Singapura dan Filipina. Perdebatan brain drain versus brain gain dalam lalu lintas tenaga kerja terampil ini tidak tampak di Indonesia. Yang mengemuka di Indonesia adalah maraknya protes buruh pabrik. Akibatnya, tidak tampak kebijakan yang jelas dari pemerintah bagaimana mengembangkan daya saing dari pekerja terampil Indonesia. Fokus dan agenda prioritas kebijakan pemerintah masih terserap untuk menangani keresahan buruh pabrik dan bukan pada peningkatan daya saing pekerja terampil.

Ketiga, menyiasati regulasi-regulasi domestik di setiap negara ASEAN. Hal ini disebabkan watak MRA itu sendiri yang tak bersifat otomatis. MRA masih harus disertai adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan antarnegara anggota ASEAN. Namun, harmonisasi kebijakan tidaklah mudah karena menyangkut isu politik domestik dan perubahan regulasi. Karena itu, asas reciprocity dalam agenda liberalisasi perlu tetap dipegang kuat. Tujuannya agar tenaga kerja terampil Indonesia dapat juga dengan mudah diberi akses bekerja di negara anggota ASEAN lain.

Keempat, kualitas pekerja terampil Indonesia. Menurut laporan Bank Dunia, terdapat kesenjangan besar dalam kualitas pekerja terampil Indonesia. Disebutkan bahwa kesenjangan terbesar adalah penggunaan bahasa Inggris (44 persen), keterampilan penggunaan komputer (36 persen), keterampilan perilaku (30 persen), keterampilan berpikir kritis (33 persen), dan keterampilan dasar (13 persen).

Komposisi angkatan kerja di Indonesia juga sangat timpang. Hanya sekitar 7 persen yang mengecap pendidikan tinggi. Terlebih lagi dari sekitar 550 universitas yang ada di Indonesia (yang 90 persen adalah swasta), hanya beberapa universitas seperti UI, ITB, dan Gadjah Mada yang memiliki permintaan pasar tenaga kerja yang baik. Hubungan antara universitas dan industri juga disebutkan sangat lemah. Karena itu, tantangannya adalah bagaimana memperkecil kesenjangan ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com