Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/08/2013, 08:44 WIB


Oleh Nirwan Yoga, Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti

JAKARTA, KOMPAS.com — Kegalauan preman dan warga di sekitar Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, terkait relokasi pedagang kaki lima (PKL) adalah hal normal. Hal itu lantaran ada yang salah dalam proses pemindahan PKL ke Pasar Blok G, yakni tanpa didahului rekayasa sosial.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, terutama Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bersikap terlalu keras dalam proses relokasi Pasar Tanah Abang. Ada kata-kata kasar dan sikap arogan dalam proses relokasi PKL. Seperti Ahok yang berniat memenjarakan para preman. Padahal, para preman di situ kebanyakan warga sekitar.

Yang tidak dilakukan Pemprov DKI dalam relokasi PKL ke Pasar Blok G adalah rekayasa sosial. Padahal, bagian itu adalah bagian paling penting.

Rekayasa sosial jadi sangat penting lantaran relokasi PKL membuat sebagian masyarakat setempat kehilangan mata pencarian. Sebab, tadinya masyarakat yang menjelma dalam wadah ormas maupun preman mencari rupiah dari aktivitas PKL, seperti ada yang mengelola parkir liar, lalu menarik uang dari para PKL.

Makanya, perlu ada rekayasa sosial terhadap orang-orang yang sudah biasa mendapat uang dari aktivitas PKL itu. Berbeda jauh saat proses perubahan lokalisasi Kramat Tunggak, Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang kemudian dibangun Islamic Center. Saat itu Pemprov DKI tak sembarangan mengubah begitu saja, tetapi ada proses rekayasa sosial yang dijalani lebih dulu.

Ketika itu, caranya semua preman diberi keterampilan dan dilatih menjadi satpam. Bos-bos premannya dijadikan kepala satpam. Lalu untuk yang wanita, ketika itu diberikan berbagai macam pelatihan. Sampai akhirnya bisa mendapat kerja di tempat lain. Begitu juga preman-preman itu, ada yang akhirnya menjadi satpam di perusahaan-perusahaan. Dan mereka jadi punya status baru.

Cukup lama

Proses rekayasa sosial pun tak sebentar. Pelatihan dan pemberian keterampilan itu berlangsung cukup lama, yakni selama tiga tahun. Baru kemudian pada tahun ketiga lokalisasi Kramat Tunggak diubah jadi Islamic Center. Terbukti, setelah didahului dengan rekayasa sosial, tak ada resistensi dari warga setempat ketika tempat itu berubah wajah.

Yang terjadi dalam proses relokasi PKL Pasar Blok G, Pemprov DKI sama sekali tak memikirkan rekayasa sosial. Padahal, banyak orang yang kehilangan mata pencariannya. Semestinya, preman-preman yang ada sekarang dibina dulu. Mereka harus diberikan status baru dengan cara memberikan pekerjaan dan gaji yang baru pula.

Selain itu, Pemprov DKI juga perlu memikirkan beasiswa bagi anak-anak di sekitar Pasar Tanah Abang. Caranya mudah, karena perputaran uang di Tanah Abang cukup besar, yaitu dengan mengutip uang dari para pemilik kios di situ, kemudian uangnya disalurkan untuk membiayai beasiswa anak-anak di sekitar Pasar Tanah Abang.

Apabila anak-anak itu bisa mendapat pendidikan layak, maka nantinya mereka akan menjadikan daerah Pasar Tanah Abang sebagai tempat tinggal yang layak. Lantaran anak yang telah berpendidikan tinggi akan cenderung mencari pekerjaan di tempat tinggalnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Tak Melawan Saat Ditangkap Polisi di Palembang

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Tak Melawan Saat Ditangkap Polisi di Palembang

Megapolitan
Said Iqbal Minta Prabowo Hapus UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Said Iqbal Minta Prabowo Hapus UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Megapolitan
Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Ajak Korban Masuk ke Kamar Hotel di Bandung

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Ajak Korban Masuk ke Kamar Hotel di Bandung

Megapolitan
Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Megapolitan
Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Megapolitan
Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Megapolitan
Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Megapolitan
Rayakan 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Rayakan "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Megapolitan
Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Megapolitan
Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Megapolitan
Hadiri 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Hadiri "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Megapolitan
Pakai Caping Saat Aksi 'May Day', Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Pakai Caping Saat Aksi "May Day", Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Megapolitan
Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Megapolitan
Massa Buruh Nyalakan 'Flare' dan Kibarkan Bendera di Monas

Massa Buruh Nyalakan "Flare" dan Kibarkan Bendera di Monas

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com