Pernyataan bernada protes itu datang dari warga yang bermukim di Kampung Apung, Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Menurut warga, permukiman seperti tempat tinggal merekalah yang seharusnya mendapat prioritas perbaikan dari Jokowi. Alasannya, mereka tinggal di tanah yang sah secara hak milik pribadi, bukan tanah negara.
"Dan kami tidak tinggal di bantaran kali atau waduk, tanahnya sah ada surat-suratnya. Kami setiap tahun bayar pajak lho," ujar Zuhri (55), salah satu warga saat ditemui Kompas.com, Kamis (19/9/2013).
Warga pun menyatakan, Jokowi sejauh ini telah berbuat kurang adil. Perlakuan "istimewa" Jokowi justru diberikan kepada warga-warga yang menduduki tanah negara, seperti di Waduk Pluit, Jakarta Utara, atau di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Meski sudah melakukan pelanggaran, mereka malah dimanjakan dengan berbagai fasilitas.
Karenanya, warga Kampung Apung mendesak Jokowi segera menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi selama ini. Adapun tuntutan warga hanya satu, yakni kawasan yang telah tergenang banjir permanen sedalam dua meter selama 25 tahun itu, segera dikeringkan.
"Yang duduki tanah negara aja dikasih solusi, masak kita yang tanahnya sah dibiarkan begini terus," keluh Taryo (47).
Warga pun ingin berdialog dengan Jokowi untuk sekadar membahas antara Kampung Apung dan Waduk Pluit. Menurut warga Kampung Apung, Jokowi pernah mengatakan bahwa Waduk Pluit diperuntukkan untuk tempat penampungan air, bukan tempat tinggal. Untuk itu, permukiman-permukiman liar di bantaran Waduk Pluit harus ditertibkan.
"Nah, di sini kebalikannya. Di sini tempat tinggal yang jadi tempat penampungan air," ujar Zuhri.
Salahkan perumahan mewah di Pluit
Seorang warga Kampung Apung lainnya, Marzuki (42), mengatakan bahwa banjir permanen yang dialami warga di daerah tempat tinggalnya terjadi sejak permukiman-permukiman mewah mulai banyak berdiri di kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, akhir 1980-an.
Menurut pria yang lahir dan besar di Kampung Apung tersebut, sebelum ada perumahan mewah, dulunya Pluit merupakan kawasan yang menjadi pusat tambak, baik itu tambak udang maupun tambak ikan bandeng.
"Banyak tambak, malah nyampe ke Kamal Muara. Bapak saya punya beberapa tambak," kenangnya.
Sementara Zuhri menceritakan, saat proyek pembangunan perumahan mewah di kawasan Pluit dimulai, sejak saat itulah, tambak-tambak di Pluit ditimbun dan dijadikan lahan untuk pembangunan perumahan mewah.
Namun, dia menduga, pengembang tidak membangun drainase yang baik hingga menyebabkan kawasan di sekitarnya tergenang, tak terkecuali Kampung Apung yang dulu masih bernama Kampung Teko.
"Seingat saya tahun 1988. Mulai dibangun Pantai Indah Kapuk, Pantai Mutiara. Mulai tergenang yang di sini," ungkapnya.