"Jokowi kan bilang Waduk Pluit tempat penampungan air, bukan tempat tinggal. Nah, kalau di sini tempat tinggal yang jadi tempat penampungan air," kata salah seorang warga Kampung Apung, Zuhri, saat ditemui Kompas.com, Kamis (19/9/2013).
Menurut Zuhri (55), warga Kampung Apung tinggal di tanah yang sah milik pribadi, bukan tanah negara. Tempat tersebut juga bukan bantaran waduk ataupun bantaran sungai. Namun, justru mereka kurang diperhatikan.
"Kami setiap tahun bayar pajak, loh," ujarnya.
Pria yang lahir dan besar di Kampung Apung ini menuturkan, tempat tersebut mulai mengalami banjir permanen sejak 1988. Saat itu, proyek pembangunan besar-besaran di sekitar kawasan tersebut, baik pabrik-pabrik maupun perumahan-perumahan mewah, mulai marak.
Akhirnya, lanjut Zuhri, kampung yang memiliki nama asli Kampung Teko ini yang sebelumnya berada di lahan yang paling tinggi, menjadi lahan yang paling rendah karena kawasan di sekitarnya sudah ditinggikan.
"Dan mereka (pabrik dan perumahan mewah) tidak memikirkan drainasenya," ucapnya.
Kampung Apung terletak tak jauh dari Jalan Kapuk Raya. Dahulunya, di kawasan ini juga terdapat pemakaman umum. Namun, sejak terjadi banjir permanen, Kampung Apung terletak di atas genangan air. Sejak dua puluhan tahun lalu, pemakaman itu pun berubah menjadi rawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.