JAKARTA, KOMPAS.com — Jumlah tempat penampungan sampah sementara di DKI Jakarta sangat kurang. Kondisi itu memaksa warga menumpuk buangan di tepi jalan atau lahan kosong. Akibatnya, sampah tercecer, menebarkan bau busuk, dan mengotori jalan.

Sejumlah warga, pengurus rukun warga (RW), dan perwakilan kelurahan mengeluhkan ketiadaan tempat penampungan sampah (TPS) sementara di wilayah mereka dalam sosialisasi hukum terpadu di kompleks perkantoran Pemkot Jakarta Utara, Rabu (23/4). Selain pengelolaan sampah, pemerintah menyosialisasikan peraturan terkait lingkungan hidup dan ketertiban umum.

Rohani (61), tokoh warga RW 001, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, mengatakan, warga terpaksa menumpuk sampah yang telah dibungkus plastik di tepi jalan. Sebagian sampah ditumpuk di bawah pohon di sekitar rumah warga.

”Sudah bertahun-tahun warga meminta pemerintah membangun TPS sementara. Namun, sampai sekarang belum terwujud, antara lain karena sulitnya mencari lahan kosong,” kata Rohani.

Menurut Rohani, kebutuhan lahan untuk TPS sebenarnya relatif kecil, yakni 10-15 meter persegi. Namun, sulit mendapatkan lahan dengan luas tersebut di lokasi yang memungkinkan truk pengangkut keluar masuk.

”Warga berharap ada sebagian lahan milik PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Marunda yang bisa dipakai untuk membangun TPS,” ujar Rohani.

Sriyono, Ketua RW 003, Tugu Selatan, Kecamatan Koja, menambahkan, warganya menumpuk sampah di sekitar rumah dan menunggu gerobak pengangkut tiba karena TPS tidak ada. Oleh karena itu, sampah kadang tercecer di jalan.

Akibat jumlahnya kurang, tumpukan sampah di TPS yang ada sering kali luber. Di TPS sementara di Rawabadak Utara, Kecamatan Koja, misalnya, sampah sering kali menumpuk tinggi dan kadang meluber ke jalan raya.

Menurut sejumlah tenaga pengangkut, selain dari Kelurahan Rawabadak Utara dan Rawabadak Selatan, sampah juga datang dari Kelurahan Lagoa. TPS di Lagoa sering tak cukup menampung sampah warga dan tergenang saat musim hujan. Saat banjir Januari 2014, produksi sampah di TPS Rawabadak Utara melonjak dari 60 ton menjadi 67-70 ton per hari.

Kondisi serupa terjadi di TPS Muara Baru di Kecamatan Penjaringan. Saat produksi sampah meningkat Januari 2014, misalnya, sampah dari luar Muara Baru dan Kelurahan Penjaringan masuk ke TPS tersebut.

Tambah TPS

Kepala Bidang Pengembangan Peran Serta Masyarakat dan Usaha Kebersihan Dinas Kebersihan DKI Jakarta Heri Suhartono menyebutkan, setiap RW idealnya memiliki TPS sendiri. Dengan demikian, idealnya ada sekitar 2.700 TPS di DKI Jakarta. Namun, jumlah TPS yang ada saat ini hanya sekitar 200 unit.

Kondisi itu mensyaratkan sistem pengangkutan yang lancar. Jika sedikit saja terlambat, sampah akan menumpuk di TPS. Tak sedikit yang mengalir ke saluran, sungai, atau waduk.

Heri menambahkan, Pemerintah DKI Jakarta menganggarkan dana miliaran rupiah untuk penambahan jumlah TPS tahun ini. Sesuai Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2014 tentang Rencana Lokasi Tempat Pembuangan Sementara Sampah, para lurah, camat, dan wali kota diminta mengusulkan calon lokasi TPS.

”Pemerintah akan membeli lahan yang diusulkan oleh wilayah masing-masing, kemudian membangunnya menjadi TPS,” Heri.

Menurut Heri, ada sejumlah hambatan untuk menambah jumlah TPS. Selain keterbatasan lahan kosong, pembangunan TPS terkendala penolakan warga. Mereka khawatir terpapar bau busuk dan rentan terserang penyakit.

”Mereka ingin lingkungan bersih dan nyaman, tetapi tidak ingin ada TPS di lingkungannya. Ini menjadi kendala karena pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk warga sendiri,” kata Heri.

Sejumlah TPS yang ada bahkan tidak bisa dioperasikan lagi karena berbagai alasan. Di Jakarta Utara, misalnya, empat dari 14 TPS tidak bisa dipakai lagi karena jalan menuju depo menyempit hingga tidak bisa dilalui truk pengangkut sampah. Situasi itu antara lain terjadi di TPS Sunter Jaya, Kecamatan Tanjung Priok, dan TPS Sukapura, Kecamatan Cilincing.

Kepala Seksi Pengendali Kebersihan Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara Sutadi mengatakan, jalan di Sunter Jaya, misalnya, mengecil karena dibangun menjadi lapangan olahraga. ”Truk sampah tak bisa lewat dan keluar masuk ke TPS lagi.”

Pelanggaran

Akibat kondisi sarana dan prasarana yang belum memadai, pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah terganggu. Sanksi pun tidak bisa diterapkan sebagaimana mestinya.

Sesuai peraturan itu, setiap orang yang membuang sampah di luar jadwal dikenai sanksi membayar uang paling banyak Rp 100.000. Sementara pembuang atau penumpuk sampah di sungai, kanal, waduk, saluran air, jalan, atau taman, dan tempat umum dikenai sanksi denda paling banyak Rp 500.000.

Ada pula sanksi bagi setiap orang yang mengeruk atau mengais sampah di TPS sehingga sampah berserakan atau membuang sampah di luar lokasi pembuangan yang telah ditetapkan dikenai sanksi denda Rp 500.000.

Tak hanya perorangan, peraturan daerah itu juga memuat aturan bagi badan usaha dan pengelola kawasan. Penanggung jawab dan atau pengelola kawasan permukiman, komersial, dan industri yang tidak melaksanakan pengelolaan sampah dikenai sanksi denda Rp 10 juta-Rp 50 juta.

”Peraturan daerah itu telah dilaksanakan sejak tahun lalu dengan sosialisasi. Sejumlah kelurahan telah menerapkan sanksi sosial dalam bentuk peringatan tertulis, memfoto pelaku, dan menempelkannya di papan pengumuman, memajang fotokopi kartu tanda penduduk. Sanksi administratif dan denda belum bisa diterapkan,” kata Heri.

Selain menerapkan peraturan daerah, Pemerintah DKI berencana mengelola pengangkutan sampah secara mandiri mulai tahun ini. Caranya antara lain dengan menambah truk dan menangani sampah secara swakelola.

Sesuai data Dinas Kebersihan DKI Jakarta, rata-rata timbunan sampah DKI Jakarta mencapai 6.300 ton per hari. Sebanyak 3.845 ton atau sekitar 60,49 persen sampah berasal dari permukiman. Sisanya antara lain 1.429 ton (22,48 persen) dari perkantoran, 725 ton (12,35 persen) dari industri serta hotel dan restoran, serta sekitar 757 ton (12 persen) dari jalan, taman, stasiun, dan terminal.

Peneliti Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, berpendapat, Pemerintah DKI punya potensi pengelolaan sampah di Teluk Jakarta yang bisa dikembangkan sebagaimana layaknya Teluk Tokyo dan Osaka, Jepang, yang dibangun menjadi pusat pengelolaan limbah terpadu di lepas pantai.

Tumpukan sampah yang telah diolah mencapai ribuan hektar bisa dikembangkan menjadi terminal peti kemas, lapangan golf, dan sentra bisnis. (MKN)