Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyapu Jalan Menggantungkan Harapan kepada Ahok

Kompas.com - 30/08/2014, 07:51 WIB
Yohanes Debrito Neonnub

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Hari masih gelap. Jarum jam menunjuk pukul 02.30 WIB. Sebagian besar warga ibu kota Jakarta masih terlelap dalam tidur. Jalanan di beberapa kawasan tampak lengang.

Kokok sang jago belum terdengar ketika Darmawan dan istrinya, Lina, mulai menyapu sepanjang Jalan Pondok Pinang Raya, Jakarta Selatan.

Sorot lampu penerangan jalan raya (PJU) di kedua sisi jalan membantu keduanya untuk membersihkan sampah, mulai dari botol bekas minuman hingga daun-daun kering yang berguguran.

Udara pagi yang menusuk kulit tidak menjadi penghalang bagi Darmawan dan Lina untuk bekerja pada dini hari. Keduanya sibuk menyapu jalan tanpa menghiraukan beberapa kawula muda yang memanfaatkan situasi lengang di kawasan tersebut untuk ugal-ugalan menggunakan sepeda motor.

"Memang setiap hari kami harus mulai kerja jam segini (pukul 02.30 WIB). Kalau mulai pukul 05.00 pagi, di sini udah mulai ramai kendaraannya," ujar Darmawan, membuka percakapan saat ditemui Kompas.com di Jalan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2014).

Darmawan mengaku menekuni pekerjaan ini (penyapu jalan) sejak dua tahun silam. Dia dan istrinya ditempatkan pada lokasi yang sama, Darmawan menyapu sisi kiri jalan, sedangkan Lina bertanggung jawab membersihkan sisi kanan jalan.

Pria asal Madiun, Jawa Timur, ini juga bersyukur bahwa penghasilannya sebagai tukang sapu cukup untuk membiayai pendidikan ketiga anaknya, walaupun terkadang dia harus mengutang.

"Kalau dulu masih dipegang swasta, kami hanya digaji Rp 700.000. Saat (kepemimpinan) Pak Jokowi, gaji kami naik, makanya saya dan istri saya semangat kerja," ujar dia.

Darmawan menambahkan bahwa ia sudah merantau ke Jakarta sejak tahun 1989 setelah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah atas. Berbekal ijazah SMA, dia mencoba peruntungannya di Jakarta.

Tanpa keterampilan yang memadai, lanjut Darmawan, dia terpaksa mengubur mimpinya untuk bisa bekerja sambil kuliah. Masa-masa itu dilewatinya dengan bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan yang kecil.

Pekerjaan sebagai kuli ditekuni hingga dia menikahi Lina pada tahun 1996. Dari pernikahan mereka, lahirlah Arief (17), Nisa (14), dan si bungsu, Riki (10). Ketiga anaknya kini dititipkan pada sang nenek di Madiun.

Arief saat ini bersekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) di Madiun, sedangkan Nisa duduk di bangku SMP, dan adiknya, Riki, baru saja duduk di kelas V SD.

Pengalaman dan cita-cita masa lalu yang urung tersampai menjadi motivasi baginya untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga bergelar sarjana.

"Saya ingin masa depan anak-anak saya lebih baik dari kami, orangtuanya. Kami tidak ingin mereka bekerja seperti kami," sambung Arief.

Pekerjaan sebagai penyapu jalan ditekuni dengan serius dan penuh tanggung jawab oleh pasangan suami istri ini. Bahkan, mereka selalu memulai pekerjaan tersebut sejak pukul 02.30 WIB dan rehat sejenak pada pukul 06.00 pagi ketika jalanan di sekitar kawasan tersebut mulai dipadati kendaraan bermotor.

Kendati demikian, dia bersama istrinya masih akan tetap berada di lokasi tersebut hingga pukul 09.00 pagi untuk sesekali memungut sampah yang dibuang sembarangan para pengendara yang melintas.

"Setelah pukul 09.00, kami istirahat sampai pukul 01.00 siang. Setelah itu, lanjut kerja bersih-bersih sampai pukul 05.00 sore," ujarnya.

Darmawan dan Lina harus menyapu sejauh 2,5 km. Lokasi awal mereka menyapu adalah perempatan Jalan Pondok Pinang–Lebak Bulus hingga ke Seven Eleven di Jalan Pondok Pinang Raya.

Kendati digaji Rp 80.000 per hari atau Rp 2.400.000 untuk sebulan, Darmawan mengaku masih harus sering mengutang karena jadwal pembayaran gaji yang tak pasti setiap bulannya. Utang tersebut dipakai untuk membantu kebutuhan hidup anak-anaknya di Madiun dan kebutuhan mereka di Jakarta.

Tentang upah tersebut, lanjut Darmawan, dia berharap nantinya gaji mereka bisa dinaikkan sehingga kebutuhan hidup mereka bisa terpenuhi.

"Kalau nanti Pak Ahok jadi gubernur, saya ingin dia perhatian sama rakyat kecil seperti kami. Kalau bisa, kami digaji Rp 3 juta per bulannya," kata dia.

Darmawan memiliki alasan tersendiri terkait permintaannya itu. Dengan gaji sebesar itu, dia bersama istrinya berharap bisa menabung sedikit demi sedikit untuk persiapan kuliah anak-anaknya nanti.

Dalam pandangannya, pendidikan adalah salah satu jalan bagi anak-anaknya agar bisa mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Terlebih lagi, ke depannya, persaingan di dunia kerja semakin ketat sehingga dia ingin mempersiapkan masa depan anak-anaknya lebih baik.

Seusai berbincang sejenak, Darmawan pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan hati-hati, dia membersihkan daun-daun yang berada di sela-sela pembatas jalan. Hari masih gelap, tetapi udara dingin tak lagi begitu menusuk kulit.

"Saya harus bersih-bersih di sini lebih cepat karena nanti harus bersihkan tumpukan sampah bekas orang jualan di lesehan. Di sana (sampahnya) lebih banyak," ujar dia lalu tersenyum lepas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER JABODETABEK] Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper | Kronologi Meninggalnya Siswa STIP yang Dianiaya Senior

[POPULER JABODETABEK] Kebengisan Pembunuh Wanita Dalam Koper | Kronologi Meninggalnya Siswa STIP yang Dianiaya Senior

Megapolitan
Daftar 73 SD/MI Gratis di Tangerang dan Cara Daftarnya

Daftar 73 SD/MI Gratis di Tangerang dan Cara Daftarnya

Megapolitan
Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com