Menurut Joko, sampai saat ini jumlah pedagang yang berjualan di Lenggang Jakarta 329 orang dari hasil verifikasi dan pelatihan. Joko menuturkan, sebanyak 10 pedagang yang masih diverifikasi ternyata mengundurkan diri.
"Jadi ketahuan niat mereka sebenarnya bukan untuk berjualan di Lenggang Jakarta. Operator sekarang masih melakukan perekrutan untuk mengisi 10 tempat itu. Sudah ada daftar tunggu. Jumlah maksimal pedagang di Lenggang Jakarta 339 orang," ujarnya, Selasa (22/6).
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama juga menduga ada sejumlah pedagang di Lenggang Jakarta yang "bermain di dua kaki", dalam arti mereka berjualan di dalam Lenggang Jakarta sekaligus masih memiliki lapak liar di luarnya.
Pantauan Kompas di lapangan, Senin kemarin, juga menunjukkan bahwa sebagian PKL liar di luar Lenggang Jakarta mendapat pasokan barang dagangan dari pedagang di dalam Lenggang Jakarta.
Joko mengakui, penertiban PKL dengan cara relokasi memang rumit karena kapasitas tempat untuk relokasi sangat terbatas, tidak berimbang dengan jumlah PKL yang harus direlokasi. Selain di Lenggang Jakarta, para PKL yang ditertibkan di sejumlah tempat juga telah direlokasi ke dalam mal, seperti Gandaria City dan Kota Kasablanka di Jakarta Selatan.
"Karena tidak imbang, terpaksa kami undi. Yang bisa kami bantu untuk sementara ini baru PKL yang memiliki KTP DKI Jakarta. Yang tidak memiliki KTP DKI belum bisa kami bantu," kata Joko.
Sampai saat ini, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan masih mendata jumlah PKL di Jakarta. Joko mengatakan, progres pendataan di lapangan berjalan lambat, tetapi terus berjalan. Jumlah PKL yang sudah didata sekitar 15.000 orang dari ratusan ribu PKL yang kemungkinan ada di Jakarta.
Terkait dengan tindak lanjut kasus perusakan Lenggang Jakarta, Sabtu malam lalu, Kepolisian Daerah Metro Jaya siap membantu melakukan pengamanan dan penertiban di kawasan Monas. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar M Iqbal, Senin, polisi akan mengoptimalkan pengamanan di lokasi untuk mengantisipasi terjadi peristiwa serupa.
"Kapolda sudah perintahkan untuk melakukan peningkatan penjagaan di sana. Kapolda juga sudah menginstruksikan kepada jajaran Polres Jakpus dan satuan kerja operasional agar melakukan penggalangan dan komunikasi agar tidak terjadi lagi hal seperti ini," kata Iqbal kepada wartawan.
Selain melakukan antisipasi, Polda Metro Jaya juga melakukan penegakan hukum dengan mengejar dalang ataupun pelaku kerusuhan tersebut. Menurut Iqbal, sudah ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka dan penyidik masih mengembangkan kasus tersebut.
Terlalu berat
Sementara itu, para PKL yang tetap bertahan berjualan di kawasan Monas di luar kompleks Lenggang Jakarta mengaku tak sanggup membayar uang sewa Rp 250.000 per bulan jika harus berjualan di Lenggang Jakarta.
"Saya enggak sanggup kalau sewanya segitu. Saya cuma dapat Rp 100.000-Rp 150.000 jualan dari pagi sampai malam. Itu untungnya cuma Rp 30.000-Rp 50.000. Hari ini saja baru laku enam gantungan kunci," keluh Adul, salah seorang pedagang yang berjualan di lahan parkir IRTI, Monas.
Ali (25), pedagang kaus di kawasan Monas, menuturkan, dia pindah dari berdagang di pinggir jalan sekitar Jakarta Barat sejak satu tahun lalu. Menurut dia, kawasan Monas punya daya tarik sebagai lahan bisnis karena banyak pengunjung. "Saya lihat di sini ramai, jadi pengin mencoba jualan di sini. Siapa tahu rezekinya lebih lancar," ujar Ali.
Akan tetapi, berdagang di kawasan Monas tak semudah yang ia bayangkan. Selain harus siaga jika terkena razia, omzetnya menurun sejak lokasi berdagang untuk para PKL dibatasi. "Dulu, kalau jualan di dalam Monas, bisa dapat Rp 1.300.000 pas lagi ada acara. Sekarang cuma dapat Rp 100.000-Rp 200.000," katanya.
Lebih baik
Sejumlah pedagang yang mendapat tempat di Lenggang Jakarta mengakui nasib mereka kini lebih baik. Yayan (53), pedagang gorengan yang mendapat tempat di Lenggang Jakarta, mengaku, kini ia bisa berjualan lebih nyaman dengan hasil yang lebih pasti.
"Berdagang di Lenggang Jakarta lebih nyaman karena tak harus dikejar-kejar petugas. Dulu, kami dagang sambil ketakutan kalau-kalau petugas tiba-tiba datang. Takut kena penertiban," ujarnya.
Dari berdagang gorengan di Lenggang Jakarta, Yayan bisa mendapat uang Rp 400.000-500.000 per hari. Pada akhir pekan, omzetnya naik menjadi Rp 700.000 per hari. Ia pun tak kesulitan mengurus berkas untuk bisa mendapat kesempatan berdagang di Lenggang Jakarta karena hanya butuh syarat KTP DKI Jakarta dan identitas lengkap lainnya.
"Kami juga mendapat pelatihan. Empat hari di kelas, kunjungan, dan praktik masak," ujarnya.
Pria asal Cirebon, Jawa Barat, itu sudah menjadi PKL sejak 1980-an. Ia tercatat sebagai PKL binaan karena berdagang di kawasan wisata Monas sejak 10 tahun lalu. "Sejak pindah dagang ke tenda, semua PKL didata. Kami juga punya kartu anggota koperasi. Yang ngurus Dinas UMKM," ujarnya.
Yayan bisa berdagang setelah ada kesepakatan membayar sewa Rp 250.000 per bulan dan uang kebersihan Rp 4.000 per hari. Selain itu, pedagang juga wajib menggunakan sistem daring. "Tapi, sampai sekarang kami belum bayar karena baru satu bulan di sini," ungkapnya.
Hal serupa dirasakan Sila (35), pedagang aksesori gawai, yang sudah menjadi PKL sejak 2008. Sebelum mendapat tempat di Lenggang Jakarta, warga asal Madura itu berdagang secara berpindah-pindah. Barang dagangannya pun berubah-ubah, dari berjualan kopi, jam tangan, kaus, hingga perlengkapan gawai.
Sila pun kerap terjaring razia oleh petugas. "Saya pernah kena razia lima kali. Pernah rugi Rp 3.000.000 waktu jualan jam tangan," ujarnya.
Meski demikian, ada juga pedagang yang mengaku belum beruntung dengan berdagang di Lenggang Jakarta. Yanto (50), pedagang mi, menuturkan, nasibnya tak sebaik pedagang lainnya. Dulu, ia menjadi pedagang asongan air kemasan di kawasan Monas. Namun, pihak Lenggang Jakarta tak mengizinkan dia menjual air kemasan.
Ia pun lalu dipilihkan menu dagang mi kocok. "Di sini masih sepi pembeli. Sehari hanya laku 5-10 mangkuk," ujarnya.
Yanto tidak dikenai biaya sewa untuk area dapur dan kursi pengunjung. Akan tetapi, ia dikenai potongan 30 persen untuk setiap porsi. Dengan begitu, ia menjual satu mangkuk mi kocok seharga Rp 21.000. "Sebaiknya, sih, dijual Rp 15.000 biar enggak terlalu mahal. Tetapi, kalau saya jual segitu, saya enggak dapat untung. Modal saja sudah Rp 10.000," katanya. (FRO/B08/RAY/RTS)
----------
Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Harian Kompas edisi Selasa, 23 Juni 2015, dengan judul "Tak Semua PKL Berniat Berdagang di Lenggang Jakarta".