Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cornelis Chastelein, Pertanian, dan Depok

Kompas.com - 21/09/2015, 20:59 WIB

KOMPAS - Tahun ini Kota Depok merayakan usia ke-16. Namun, sebenarnya, komunitas masyarakat Depok sudah berkembang lebih dari 300 tahun. Depok berkembang sejak tuan tanah asal Belanda, Cornelis Chastelein, menganugerahkan kebebasan kepada para budaknya.

Cornelis Chastelein lahir pada 10 Agustus 1657 di Rokin, Amsterdam, Belanda. Dia anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya, seorang Huguenot (Protestan) bernama Anthony (Chastelein 1613-1664), datang dari Perancis ke Belanda dan menjadi anggota Dewan Tujuh Belas (De Heeren Zeventien) dari VOC atau Serikat Badan Usaha Dagang Belanda di Asia. Ibunya, Maria Curdenier (1622-1660), putri dari Wali Kota Dordrecht.

Pada 24 Januari 1675, Cornelis yang berusia 17 tahun naik kapal cepat 't Huis van Kleef dari pelabuhan Texel. Setelah 204 hari pelayaran, kapal itu tiba di Batavia. Dia lalu bekerja sebagai pemegang tata buku VOC. Jenjang karier ayah dua anak itu naik cepat. Pada 1691 dia dipromosikan menjadi saudagar senior di Kastil Batavia.

Setelah karier cemerlangnya dan tidak lagi bekerja, Cornelis menunjukkan minat besar di bidang pertanian, budaya penduduk asli, pendidikan, dan keindahan alam. Dia juga sangat kritis terhadap kebijakan perdagangan VOC.

Dalam buku Jejak-jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657-1714) kepada Para Budaknya yang Dibebaskan karya Jan-Karel Kwisthout-diterjemahkan Pdt Hallie Jonathans dan Corry Longdong-dijelaskan, pada 30 November 1686, Cornelis menulis catatan berjudul "Mijne gedagten ende eensame bedenckingen over de saken van Nederlands India" (Pikiran dan pertimbanganku tentang Hindia Belanda).

Dalam tulisan itu dia berusaha melonggarkan politik perdagangan monopoli, mengembangkan pertanian sekaligus mengembangkan penduduk setempat. Dia membenci orang Eropa yang mengeksploitasi penduduk tanpa memperhatikan pembangunan berkesinambungan daerah koloni.

Selama 12 tahun (1691-1704) selanjutnya, Cornelis membeli tanah di sekitar Batavia, seperti di Srengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Weltevreden (sekitar Gambir sampai Pasar Senen). Dia juga membeli tiga bidang tanah di sebelah barat Tjiliwoeng, yang disebut Depok, Mampang, dan Karang Anjer.

Di Weltevreden, Cornelis membangun penggilingan tebu dan percobaan penanaman kopi pertama di Batavia. Di Srengseng dan Depok, dia menanam lada, indigo, cokelat, jeruk mandarin, nangka, sirsak, belimbing, dan buah ara. Sampai kini, Depok dikenal sebagai penghasil belimbing yang besar dan manis. Buah ini pun jadi maskot Depok.

Depok asli

Di atas tanah milik Cornelis di Depok, sudah ada penduduk yang turun-temurun tinggal di sana dengan status menyewa. Mereka disebut orang Depok asal. Para budak yang didatangkan Cornelis dari luar Jawa disebut warga Depok asli. Cornelis membangun komunitas pertanian di lahan seluas 1.244 hektar.

Sebelum meninggal, Cornelis menulis surat wasiat yang isinya membebaskan dan mewariskan tanah pertanian kepada 150 budaknya. Sebagian besar budak itu berasal dari Bali, Benggala, Koromandel, dan Makassar. Tanah diberikan kepada mereka, tak peduli Kristen atau Muslim.

Hingga saat ini, masih tersisa 12 nama keluarga dari keturunan budak Kristiani yang dimerdekakan, yaitu Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadokh. Marga Zadokh punah, diduga karena tak punya keturunan laki-laki.

Orang Depok asli hidup dalam sistem pemerintahan otonom. Kehidupan mereka terisolasi dari dunia luar. Seiring perkembangan zaman, kemurnian komunitas Depok tidak bisa dipertahankan.

Ferdy Jonathans, pengurus Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, mengatakan, kehidupan yang relatif tenang di Depok mulai terusik pada awal kemerdekaan RI. Saat itu, mereka menjadi korban gejolak politik yang disebut "Gedoran Depok". Orang-orang di sekitar Depok menjarah barang-barang dan menyiksa mantan budak Cornelis Chastelein. "Kami sempat akan dibakar karena dianggap pengikut Belanda," kata Ferdy.

Pada 4 Agustus 1952, Depok sebagai komunitas yang berdiri sendiri resmi dihapus oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah mengambil sawah-sawah, padang rumput, hutan, dan beberapa bidang lahan lain. Beberapa bidang lahan, seperti gereja Protestan, pastori, pemakaman, sekolah, dan lapangan sepak bola, dikembalikan kepada komunitas Depok. Sekarang, Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein mengelola sisa-sisa tanah Depok, mengurus pendidikan, merawat orang miskin, dan merawat kepercayaan Kristiani untuk komunitas Depok.

Menurut Ferdy, nama Depok berasal dari kata padepokan (tempat berguru). "Dulu tentara-tentara Cirebon sering bertapa dan berlatih silat di Depok," katanya.

Perkembangan Kota Depok semakin mengikis karakter dan kultur mereka. Kawasan pertanian berubah menjadi kompleks perumahan, kantor, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan umum lainnya. Nama Jalan Pintu Air, yang menandakan keberadaan pintu air Ciliwung, misalnya, berubah menjadi Jalan Margonda. Namun, di tengah usaha pemerintah mengatasi banjir, keberadaan pintu air justru kurang diperhatikan.

Suzana Indrayono Leander (60), generasi ke-15 keluarga Leander, mengatakan, pada 1978 sawah seluas 5 hektar milik orangtuanya dibeli pemerintah seharga Rp 7 juta. Sawah lalu diubah menjadi Perumnas Depok. "Kebijakan pemerintah tidak mendukung pertanian terus berkembang," katanya.

Aswati (68), warga Kelurahan Tanah Baru, Beji, Depok, mengatakan, Depok sudah berkembang menjadi kota yang nyaris tanpa lahan kosong. "Kalau berdiri di tengah-tengah Kota Depok, lalu melihat ke semua penjuru mata angin, hanya ada permukiman. Udara yang dulu sejuk kini panas," ujarnya.

Ahli sastra dan kebudayaan Belanda dari Universitas Indonesia, Dr Lilie Suratminto, mengatakan, masih ada sebagian generasi tua Depok yang hidup dalam kultur Eropa. Saat pesta perkawinan, misalnya, orang Depok asli menyelenggarakan acara dansa waltz. Saat ada orang yang meninggal, pakaian bekas almarhum dibagikan kepada orang yang membutuhkan. "Ini menunjukkan jejak-jejak kebudayaan Belanda masih ada," kata Lilie.

Tri Wahyuning M Irsyam, pengajar di Program Studi Sejarah, Departemen Ilmu Sejarah FIB UI, mengatakan, berbagai tinjauan sejarah menunjukkan warga Depok adalah pemilik kolektif tanah dan bangunan. Sayangnya, menurut Tri, studi ilmiah yang terkait sejarah Depok minim. "Kalaupun ada (sejarah Depok), serinya tidak ditulis dengan data akurat. Diperlukan lebih banyak studi untuk meneliti sejarah kota Depok," katanya. (B03)

____________________________

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 September 2015, di halaman 27 dengan judul "Cornelis Chastelein, Pertanian, dan Depok".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kakak Korban Kecelakaan SMK Lingga Kencana Depok: Terima Kasih kepada Pihak yang Bantu Pengobatan Suci

Kakak Korban Kecelakaan SMK Lingga Kencana Depok: Terima Kasih kepada Pihak yang Bantu Pengobatan Suci

Megapolitan
Bocah 6 Tahun Tewas Terjatuh dari Lantai 8 Rusunawa di Cakung

Bocah 6 Tahun Tewas Terjatuh dari Lantai 8 Rusunawa di Cakung

Megapolitan
Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana Masih Terbaring di RS UI, Kondisi Sempat Turun Drastis

Korban Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana Masih Terbaring di RS UI, Kondisi Sempat Turun Drastis

Megapolitan
Ban Pecah, Mobil Muatan Sembako Kecelakaan di Tol Cijago

Ban Pecah, Mobil Muatan Sembako Kecelakaan di Tol Cijago

Megapolitan
6 Pemuda Ditangkap Saat Hendak Tawuran di Bogor, Polisi Sita Golok dan Celurit

6 Pemuda Ditangkap Saat Hendak Tawuran di Bogor, Polisi Sita Golok dan Celurit

Megapolitan
Dishub Jakpus Dalami Kasus 2 Bus Wisata Diketok Tarif Parkir Rp 300.000 di Istiqlal

Dishub Jakpus Dalami Kasus 2 Bus Wisata Diketok Tarif Parkir Rp 300.000 di Istiqlal

Megapolitan
Dishub Klaim Langsung Lerai dan Usir Jukir Liar yang Palak Rombongan Bus Wisata di Masjid Istiqlal

Dishub Klaim Langsung Lerai dan Usir Jukir Liar yang Palak Rombongan Bus Wisata di Masjid Istiqlal

Megapolitan
Pemuda yang Sekap dan Aniaya Kekasihnya di Pondok Aren Positif Sabu

Pemuda yang Sekap dan Aniaya Kekasihnya di Pondok Aren Positif Sabu

Megapolitan
Dishub Jaksel Jaring 112 Jukir Liar yang Mangkal di Minimarket

Dishub Jaksel Jaring 112 Jukir Liar yang Mangkal di Minimarket

Megapolitan
Petinggi Demokrat Unggah Foto 'Jansen untuk Jakarta', Jansen: Saya Realistis

Petinggi Demokrat Unggah Foto "Jansen untuk Jakarta", Jansen: Saya Realistis

Megapolitan
Evakuasi Mobil di Depok yang Jeblos ke Septic Tank Butuh Waktu Empat Jam

Evakuasi Mobil di Depok yang Jeblos ke Septic Tank Butuh Waktu Empat Jam

Megapolitan
Gerebek Rumah Ketua Panitia Konser Lentera Festival Tangerang, Polisi Tak Temukan Seorang Pun

Gerebek Rumah Ketua Panitia Konser Lentera Festival Tangerang, Polisi Tak Temukan Seorang Pun

Megapolitan
Tunjuk Atang Trisnanto, PKS Bisa Usung Cawalkot Bogor Sendiri Tanpa Koalisi

Tunjuk Atang Trisnanto, PKS Bisa Usung Cawalkot Bogor Sendiri Tanpa Koalisi

Megapolitan
Heru Budi Minta Wali Kota Koordinasi dengan Polres Terkait Penanganan Judi Online

Heru Budi Minta Wali Kota Koordinasi dengan Polres Terkait Penanganan Judi Online

Megapolitan
Mobil Warga Depok Jeblos ke 'Septic Tank' saat Mesin Dipanaskan

Mobil Warga Depok Jeblos ke "Septic Tank" saat Mesin Dipanaskan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com