JAKARTA, KOMPAS.com — Ketidakpedulian lingkungan sosial terhadap perlindungan anak menjadi cermin tiadanya kompetensi orangtua, sekolah, dan warga. Di kalangan permukiman kelas bawah, ketidakpedulian warga juga didorong oleh sikap "mencari selamat".
Demikian disampaikan kriminolog UI Prof Mustofa dan sosiolog UI Prof Thamrin Tamagola, Minggu (11/10/2015) malam.
Mereka menyampaikan hal itu untuk menanggapi ketidakpedulian warga sekitar terhadap kehadiran tersangka Agus (39) dan warung bedengnya yang tumbuh menjadi tempat nongkrong siswa-siswi SD dan SMP.
Padahal, warga sekitar tahu, tersangka kasus pembunuhan PNF (9) sudah beberapa kali dipenjara karena kasus narkoba dan berpengaruh buruk pada perkembangan sosial anak-anak warga.
Mustofa mengatakan, pudarnya ketidakpedulian lingkungan sosial masyarakat bawah terjadi karena tiadanya kompetensi warga terhadap perlindungan anak.
"Itu bermula dari tiadanya kompetensi orangtua terhadap perlindungan anak-anak mereka," ujar Mustofa.
Kalau lingkungan sosialnya sebagian besar terdiri dari orangtua yang tidak kompeten terhadap perlindungan anak, lanjut Mustofa, otomatis lingkungan sosial mereka juga tidak berkompeten terhadap perlindungan anak.
Menurut Mustofa, lingkungan sekolah pun minim kompetensi perlindungan anak.
"Undang-undangnya memang sudah ada, tetapi pelaksanaannya di lapangan enggak nyambung karena guru-gurunya tidak mendapat desain sosialisasi mengenai perlindungan anak," tutur Mustofa.
"Alhasil, ketiga lingkungan, lingkungan keluarga, lingkungan warga, maupun lingkungan sekolah, minim kompetensi usaha perlindungan anak," ujar Mustofa.
Mencari selamat
Sementara itu, Thamrin menyoroti aspek "mencari selamat" yang membuat kepedulian lingkungan sosial, terutama kalangan kelas bawah melemah.
"Daripada repot berurusan dengan birokrasi dan prosedur yang bertele-tele saat membuat laporan, lebih baik diam. Daripada 'bergesekan' dengan tetangga karena memperkarakan tetangga, ya lebih baik diam," kata Thamrin.
Ia menduga, dalam kasus A, warga tidak mau mencampuri bahkan mengawasi A karena A adalah bagian dari komunitas warga.
"Buat warga, A bukan orang asing. Dia juga tidak mencuri atau merampok warga," ujar Thamrin.
Kalau soal narkoba, lanjut Thamrin, warga cenderung mencari selamat dengan bersikap tidak peduli.
"Aneh memang. Kalau kasusnya pencurian atau perampokan, warga bisa sangat kejam. Tapi, kalau kasusnya narkoba, warga bersikap, 'urusan masing-masing sajalah,'" kata Thamrin.
Solusi
Untuk mengakhiri ketidakpedulian warga, Mustofa mengusulkan agar lingkungan keluarga, permukiman, dan sekolah meningkatkan kompetensi terhadap perlindungan anak.
"Mulai dari keluarga lewat proses pendampingan instansi pemerintah pusat dan daerah terkait," ucap Mustofa.
Sementara itu, proses pendampingan di sekolah dilakukan untuk mengimplementasikan semua produk perundangan terkait usaha perlindungan anak.
"Di situ dipaparkan bagaimana rincian dan proses pelaksanaannya. Bagaimana desain besarnya," ujar Mustofa.
Thamrin menambahkan, untuk mengurangi sikap mencari selamat, pemerintah pusat dan daerah harus meningkatkan pelayanan publik terkait usaha perlindungan anak.
"Pangkas prosedur birokrasi yang bertele-tele. Utamakan pelayanan dulu. Buat warga merasa nyaman dengan pelayanan tersebut dan ada jaminan, setiap laporan krusial ditindaklanjuti," ujar Thamrin.
Ia berharap, ada kerja sama dan sinergi antara lembaga kepolisian, lembaga-lembaga perlindungan anak, para pemerhati anak, tokoh lingkungan, serta instansi pemerintah terkait.
"Jangan sampai hubungan di antara lembaga ini justru menyebabkan prosedur administratif yang makin panjang sehingga justru menghambat proses penyelesaian kasus," ucap Thamrin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.