Seorang perempuan dengan baju dan kerudung putih bersuara lantang di tengah suasana hiruk pikuk pembongkaran pemukiman di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Tangannya memegang selembar kertas. Ada tanda tangan Joko Widodo di bagian bawah lembaran itu.
Perempuan yang saya lihat di layar televisi itu menggugat penggusuran yang dilakukan Pemda DKI Jakarta karena tidak sesuai dengan janji Jokowi saat kampanye Pemilihan Gubernur 2012 lalu. Dengan tangan bergetar perempuan itu menunjukkan kertas bertuliskan “Kontrak Politik” dari Joko Widodo, calon gubernur DKI Jakarta 2012-2017, di mana Ahok menjadi wakilnya.
Dalam kontrak bertanggal Sabtu 15 September 2012 itu, Jokowi berjanji akan melibatkan warga dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan penyusunan APBD dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pembangunan kota.
Pada poin kedua, Jokowi berjanji akan memenuhi dan melindungi hak-hak warga kota. Salah satunya adalah legalisasi kampung ilegal.
Tertulis, “Kampung yang sudah ditempati warga selama 20 tahun dan tanahnya tidak dalam sengketa, maka diakui haknya dalam bentuk sertifikat hak milik.”
Selanjutnya, pada bagian (b) tertulis : "Pemukiman kumuh tidak digusur tapi ditata.”
Penggusuran bukanlah barang baru di Republik ini. Hampir semua penguasa pernah melakukan penggusuran di Jakarta.
Banyak yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. Hal serupa juga terjadi di daerah lain di Indonesia, sebutlah Kedung Ombo, salah satunya.
Namun saya tidak akan membicarakan penggusuran dalam tulisan ini. Yang ingin saya soroti adalah soal janji politik.
Janji yang diberikan calon penguasa saat berkampanye untuk merebut simpati pemilih, namun kemudian lupa diwujudkan saat sudah berkuasa.
Masyarakat Indonesia tentu sudah sering mendengar janji seperti itu. Hampir semua orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin, pernah memberi janji pada pemilih. Dari calon lurah sampai calon presiden, semua mengobral janji.
Mereka berani berjanji sekaligus berani mengingkarinya. Persis tulisan William Shakespeare dalam "As You Like It", 1599/1600 : "Dia menulis ungkapan berani, bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani, dan melanggarnya dengan berani."