Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Nugroho
Pemimpin Redaksi Kompas.com

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Setelah Ahok dan "Teman Ahok" Menyilakan Parpol

Kompas.com - 20/06/2016, 06:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Seperti sudah diduga sebelumnya, ada kompromi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ingin kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta melalui Pilkada 2017 dengan "Teman Ahok" yang mempersiapkan syarat untuk menempuh jalur independen.

Dugaan akan adanya kompromi itu dapat ditilik pada pernyataan-pernyataan Ahok berkali-kali bahwa dirinya tidak akan meninggalkan "Teman Ahok". Sebaliknya, pernyataan-pernyataan senada juga kerap dikemukan pihak "Teman Ahok". 

Posisi "Teman Ahok" yang tidak akan meninggalkan Ahok sudah ditulis di "Mukadimah" dan dijadikan pijakan hingga saat ini. Dituliskan, "Teman Ahok" didirikan untuk membantu dan "menemani" Ahok mewujudkan Jakarta Baru yang lebih bersih, maju, dan manusiawi.

"Teman Ahok" didirikan dengan visi dan misi. Setelah misi utama mengumpulkan sejuta Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga DKI Jakarta sebagai syarat pencalonan Ahok di jalur independen terpenuhi, Minggu (19/6/2016) malam, kompromi sebagai hasil kesepakatan Ahok dan "Teman Ahok" dikemukakan.

Dalam kompromi itu, Ahok dan "Teman Ahok" sepakat membuka pintu bagi partai politik untuk pencalonan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Kompromi ini melawan keyakinan dasar "Teman Ahok" tentang partai politik.

"Teman Ahok" yang didirikan Maret 2015 berinisiatif mengajukan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta melalui jalur independen didasari penilaian kaku dan tidak berubahnya partai politik.

Dengan gaya kepemimpinan Ahok yang memancing kontroversi dan konflik dengan para elite politik, "Teman Ahok" melihat ada sandungan atas keinginan mereka memajukan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. 

Dalam perjalanan mengumpulkan dukungan untuk Ahok, penilaian "Teman Ahok" terhadap partai politik yang kaku dan tidak berubah gugur. Bukan menjadi sandungan seperti yang diduga, partai politik justru menjadi pemulus jalan.

Ini keliatan partai politik (untuk tidak mengatakan oportunis) yang tidak diperkirakan "Teman Ahok". 

Tiga partai politik menjelang Pilkada DKI Jakarta, Februari 2017 memberi dukungan. Pertama Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dengan Ketua Umum Surya Paloh. Kedua Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan Ketua Umum Wiranto. Ketiga Partai Golongan Karya (Golkar) dengan Ketua Umum Setya Novanto.

Tentang tiga partai politik ini, kita semua tahu bahwa Golkar adalah asal muasal mereka. Golkar adalah pendukung utama Presiden ke-2 RI Soeharto saat jaya dan berkuasa di era Orde Baru. Kejelian Golkar melihat dan menempeli kekuasaan semasa Orde Baru tampaknya masih diwarisi ketiga partai ini.

Bagi Ahok, tidak sulit untuk menyatu dengan ketiga partai ini. Sebelum bergabung dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan meninggalkan partai sempalan Golkar ini, Ahok adalah kader Partai Golkar.

Bergaul dan berbaur dengan ketiganya, Ahok tidak akan terlihat canggung. Masa lalu Ahok ada di sana. Bahkan jika Partai Gerindra ada di kumpulan itu.

Canggung yang akan berlalu

Kesulitan bersikap yang akan menimbulkan kecanggungan justru akan dialami mereka yang ada dalam kumpulan "Teman Ahok" dengan jumlah KTP sejuta. 

Terlebih, ada kebanggaan dan heroisme kumpulan "Teman Ahok" di jalur independen yang ditunjukkan dengan mencela perilaku elite dan partai politik yang memang kerap memuakkan. 

TRIBUNNEWS / DANY PERMANA Massa dari Teman Ahok mengumpulkan dukungan melalui petisi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (1/3/2015). Kegiatan yang mengusung tema #GueAhok tersebut menggalang dukungan terhadap Gubernur DKI Jakarta yang sedang menghadapi pertentangan dengan DPRD Jakarta terkait dana APBD.
Sulit membayangkan kumpulan "Teman Ahok" ini akan tenang dan nyaman mendapati partai politik-partai politik memuluskan jalan Ahok dan bukan menjadi sandungan.

Namun tenang. Kepada mereka, Ahok dan "Teman Ahok" pasti akan turun tangan membuat "pembenaran" yang bisa diterima nalar. Tidak akan mudah, tetapi tidak tersedia banyak pilihan.

Jalur independen yang semula diperjuangkan menemui sejumlah rintangan di tahap verifikasi faktual dan bisa mengagalkan pencalonan. Di sisi lain, kumpulan "Teman Ahok" ini sudah mematok agar kekuasaan di Jakarta saat ini dilanjutkan. Partai politik akan membantu memudahkan jalan. Jatuh hati mereka kepada Ahok tidak bisa ditawar.

Berdasarkan pengalaman, canggung dalam sikap politik ini biasanya tidak bertahan lama juga. Kita tidak kekurangan contoh tentang partai politik atau pihak yang sebelumnya bermusuhan lantas bergandengan tangan.

Penyebab utamanya adalah samanya kepentingan dan gairah akan kekuasaan. Sebab lainnya adalah pendeknya ingatan kita di tengah mudahnya kita berpindah-pindah dari terpesona dan kemudian membenci dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.

Para pendiri "Teman Ahok" sudah bisa mengatasi kecanggungan ini pada hari terkumpulnya sejuta KTP untuk Ahok. Tips cepatnya mereka hilang canggung melihat partai politik bukan sebagai sandungan tetapi pemulus jalan bagi Ahok mungkin bisa dibagi-bagikan.

Bagi para panantang Ahok, kepastian majunya Ahok bersama "Teman Ahok" dan partai politik menambah kejelasan peta pertarungan.

Jika jadi didukung dan dicalonkan oleh gabungan tiga partai politik pewaris Golkar yaitu Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Golkar, secara matematis bisa muncul empat penantang Ahok.

Untuk mengajukan calon dalam Pilkada DKI Jakarta, partai politik atau gabungan partai politik sekurang-kurangnya memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara sah Pemilu 2014. Dengan jumlah kursi di DPRD DKI Jakarta 106 kursi, maka syarat minimalnya adalah 21 kursi.

Komposisi kursi di DPRD DKI Jakarta adalah PDI-P 28 kursi, Gerindra 15 kursi, PKS 11 kursi, PPP 10 kursi, Demokrat 10 kursi, Hanura 10 kursi, Golkar 9 kursi, PKB 6 kursi, Nasdem 5 kursi, dan PAN 2 kursi. Berdasarkan komposisi ini, hanya PDI-P yang bisa mengajukan calon sendiri.

Sambil menunggu canggung "Teman Ahok", mari kita tunggu partai politik dan gabungan partai politik lain menyiapkan lawan Ahok yang sepadan. Waktu tidak banyak karena canggung "Teman Ahok" yang akan bahu membahu bersama partai politik pendukung itu akan cepat hilang.

Di tengah beragamnya gaya kepemimpinan yang melayani rakyat khususnya mereka yang terpinggirkan, warga Jakarta berhak dan senang juga jika punya alternatif untuk ditimbang sebelum dijatuhkannya pilihan. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Buru Maling Kotak Amal Mushala Al-Hidayah di Sunter Jakarta Utara

Polisi Buru Maling Kotak Amal Mushala Al-Hidayah di Sunter Jakarta Utara

Megapolitan
Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Ditemukan Meninggal Dunia

Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Ditemukan Meninggal Dunia

Megapolitan
Polisi Selidiki Pelaku Tawuran yang Diduga Bawa Senjata Api di Kampung Bahari

Polisi Selidiki Pelaku Tawuran yang Diduga Bawa Senjata Api di Kampung Bahari

Megapolitan
'Update' Kasus DBD di Tamansari, 60 Persen Korbannya Anak Usia SD hingga SMP

"Update" Kasus DBD di Tamansari, 60 Persen Korbannya Anak Usia SD hingga SMP

Megapolitan
Bunuh dan Buang Mayat Dalam Koper, Ahmad Arif Tersinggung Ucapan Korban yang Minta Dinikahi

Bunuh dan Buang Mayat Dalam Koper, Ahmad Arif Tersinggung Ucapan Korban yang Minta Dinikahi

Megapolitan
Pria yang Meninggal di Gubuk Wilayah Lenteng Agung adalah Pemulung

Pria yang Meninggal di Gubuk Wilayah Lenteng Agung adalah Pemulung

Megapolitan
Mayat Pria Ditemukan di Gubuk Wilayah Lenteng Agung, Diduga Meninggal karena Sakit

Mayat Pria Ditemukan di Gubuk Wilayah Lenteng Agung, Diduga Meninggal karena Sakit

Megapolitan
Tawuran Warga Pecah di Kampung Bahari, Polisi Periksa Penggunaan Pistol dan Sajam

Tawuran Warga Pecah di Kampung Bahari, Polisi Periksa Penggunaan Pistol dan Sajam

Megapolitan
Solusi Heru Budi Hilangkan Prostitusi di RTH Tubagus Angke: Bikin 'Jogging Track'

Solusi Heru Budi Hilangkan Prostitusi di RTH Tubagus Angke: Bikin "Jogging Track"

Megapolitan
Buka Pendaftaran, KPU DKI Jakarta Butuh 801 Petugas PPS untuk Pilkada 2024

Buka Pendaftaran, KPU DKI Jakarta Butuh 801 Petugas PPS untuk Pilkada 2024

Megapolitan
KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran Anggota PPS untuk Pilkada 2024

KPU DKI Jakarta Buka Pendaftaran Anggota PPS untuk Pilkada 2024

Megapolitan
Bantu Buang Mayat Wanita Dalam Koper, Aditya Tak Bisa Tolak Permintaan Sang Kakak

Bantu Buang Mayat Wanita Dalam Koper, Aditya Tak Bisa Tolak Permintaan Sang Kakak

Megapolitan
Pemkot Depok Bakal Bangun Turap untuk Atasi Banjir Berbulan-bulan di Permukiman

Pemkot Depok Bakal Bangun Turap untuk Atasi Banjir Berbulan-bulan di Permukiman

Megapolitan
Duduk Perkara Pria Gigit Jari Satpam Gereja sampai Putus, Berawal Pelaku Kesal dengan Teman Korban

Duduk Perkara Pria Gigit Jari Satpam Gereja sampai Putus, Berawal Pelaku Kesal dengan Teman Korban

Megapolitan
15 Pasien DBD Dirawat di RSUD Tamansari, Mayoritas Anak-anak

15 Pasien DBD Dirawat di RSUD Tamansari, Mayoritas Anak-anak

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com