Pertengahan Juli lalu, setidaknya ada enam spanduk dipasang Komunitas Wilayah Puncak. Spanduk dari 40 organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat itu pada intinya menuntut penghapusan kebijakan lalu lintas satu arah di Puncak.
Menurut Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Ikkpas, yang tergabung dalam Komunitas Wilayah Puncak (KWP), Imam Sukarya Sarkowi, kebijakan satu arah di Puncak itu sudah usang dan harus dievaluasi tuntas.
Kebijakan itu diberlakukan pertama kali tahun 1986. Saat itu, kebijakan diambil agar tamu-tamu dari arah Kota Bogor atau Jakarta bisa lancar melenggang menuju Taman Safari Indonesia.
”Itu sudah 30 tahun lalu. Masak sampai sekarang masih diterapkan, tanpa ada perbaikan?” tanyanya, akhir pekan lalu.
Sekolah diliburkan
Akibat pengaturan satu arah itu, sekolah-sekolah di Cisarua diliburkan pada Sabtu karena guru dan siswa tidak bisa sampai ke sekolah atau kesulitan pulang ketika sekolah selesai.
Chaidir Rusli, penggerak LSM Balai Seni Budaya yang juga bergabung dalam KWP, merasakan kebijakan itu sungguh tidak manusiawi bagi masyarakat Cisarua dan pengguna jalan lainnya.
Ketika satu arah, warga harus melipir hati-hati di sisa pinggir jalan agar tidak ditabrak kendaraan yang melaju kencang.
”Yang tabrakan atau terserempet kendaraan sudah banyak sekali. Setidaknya dua famili dan satu karyawan saya meninggal dunia akibat tertabrak atau tabrakan saat satu arah,” katanya.
Badan jalan di jalur alur Puncak kini makin lebar. Sebaliknya, trotoar terkikis habis.
”Bagaimana warga kami bisa aman? Sadar tidak polisi dan para pejabat pemerintah itu? Saya menuntut kebijakan itu dihapus total. Carilah kebijakan yang lebih manusiawi. Mereka digaji rakyat untuk membuat kebijakan yang manusiawi,” tutur Mang Iding, panggilan Chaidir.
Tak berjadwal
Wahyudin (49), karyawan sebuah hotel dan pemilik lapak dagangan oleh-oleh di Cipayung, mengaku gamang kalau kebijakan satu arah dihapus sama sekali. Bisa-bisa tidak ada lagi yang mau ke Puncak karena macet total.
Menurut dia, awal penerapan kebijakan itu bagus. Hanya saja, empat-lima tahun belakangan terjadi ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya. Dulu penerapannya tertib, hanya dua jam pada pagi hari dan dua jam pada sore hari. Kebijakan diberlakukan pada jam yang sama sehingga warga dan tamu hotel dapat menyesuaikan waktu dan aktivitasnya.
”Sekarang bisa saja polisi tiba-tiba menutup jalur lebih awal dan lebih lama. Akibatnya, warga kerepotan dan pihak hotel mendapat komplain dari tamu karena memberikan informasi yang tak tepat. Warga dan tamu terjebak di antrean sampai tiga empat jam akibat penutupan jalur yang tidak diketahui pasti jadwalnya,” tuturnya.
Dia berpendapat, sebaiknya jadwal buka-tutup dikembalikan ke jadwal semula disertai informasi lewat spanduk besar.
Jalan alternatif
Yang juga membuat Wahyudin heran, tidak ada pembangunan jalan-jalan di desa yang bisa menjadi jalan alternatif.
Imam Sukarya berpendapat, jika jalan-jalan di desa yang ”mengapit” sisi utara dan selatan jalur Puncak dibangun dengan memadai, jalur Puncak tidak sepadat saat ini.
”Jangan berburuk sangka dengan warga bahwa jika jalan desa bagus akan membuat warga merambah lahan hutan. Tunjukkan niat baik pemerintah dulu saja, bangun jalan desa-desa itu. Kalau ekonomi warga bagus, untuk apa masuk dan menebang hutan?” katanya.
Menurut Imam, tidak sulit meminta lahan warga untuk pelebaran atau pembangunan jalan desa. Apalagi, kiri-kanan jalan desa lebih banyak berdiri vila-vila dan resor wisata ketimbang rumah-rumah penduduk.
”Serahkan saja kepada kepala desa setempat untuk pendekatan kepada masyarakat serta transparan dalam menerapkan kebijakan pembebasan lahan. Warga akan menurut karena itu juga untuk kepentingan mereka, untuk peningkatan taraf ekonomi dan kehidupan warga setempat,” kata Imam.
Di tengah kondisi yang bertahun-tahun dirasakan warga, kebijakan satu jalur di Puncak tidak kunjung dihapus. Tidak heran, di lapangan berkembang dugaan oknum petugas tertentu yang justru yang menciptakan kemacetan itu.
Muncul juga dugaan oknum tertentu memanfaatkan satu jalur ini untuk melakukan ”bisnis” pengawalan dengan motor atau mobil patroli guna menembus kemacetan jalur itu.
Imam menuturkan, penerapan jalur searah itu juga membuat banyak warga berkepentingan mencari penghidupan dan beraktivitas di kawasan ini.
Jaring aspirasi
Nasib enam spanduk yang dipasang KWP itu tidak lama. Chaidir Rusli memastikan spanduk itu tidak diturunkan pihak komunitas.
Entah karena ada spanduk itu atau bukan, Pemerintah Kabupaten Bogor, Rabu pekan lalu, mengadakan rapat muspida dan memanggil satuan kerja perangkat daerah terkait untuk membahas soal satu arah jalur Puncak dan imigran di kawasan itu.
Bupati Bogor memerintahkan Asisten Sekda (Asda) I Bidang Pemerintahan Burhanudin dan Camat Cisarua Bayu Rahmawanto untuk segera menjaring aspirasi masyarakat. Keesokan harinya pun diselenggarakan pertemuan menjaring aspirasi itu.
Puluhan penggiat KWP pun memenuhi undangan dadakan Asda dan camat meskipun di saat bersamaan mereka membuat seminar dengan tema serupa. Seusai acara, ketidakpuasan penggiat KWP tetap membekas karena belum ada kepastian apakah tuntutan mereka dipenuhi meski segala efek negatif kebijakan itu mereka utarakan.
(Ratih P Sudarsono)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2016, di halaman 27 dengan judul "Setelah 30 Tahun, Satu Arah Puncak Masih Relevan?".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.