Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Para Jawara Penjaga Kali di Jakarta

Kompas.com - 31/08/2016, 19:00 WIB

Ketika hutan di Indonesia terus menyusut, mendapati oase kawasan hijau di perkotaan merupakan sebuah anugerah tak ternilai. Apalagi kalau kawasan hijau itu berada di Jakarta, yang warganya saban hari menghadapi kepadatan kota dan kemacetan lalu lintas.

 Karena itu, tak perlu terus menyalahkan pemerintahan masa lalu yang kini membuat kita kurang beruntung dalam mempertahankan keseimbangan alam. Mari menemui orang-orang yang dengan kesadarannya sendiri merawat lingkungan sekitar dan berharap virus kebaikan pun menular.

Ditemui di rumah panggungnya yang terbuat dari kayu dan bambu di tengah Hutan Kota Pesanggrahan di Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, akhir Juli lalu, Chaerudin (59) sudah sekitar 30 tahun berjuang menghijaukan sempadan kali. Ia nyaris sendirian, merampas jengkal demi jengkal lahan di bantar Kali Pesanggrahan di sana. Merampas lahan yang menjadi timbunan sampah guna dihutankan kembali.

 Dari nyaris nol, kini luas hutan itu sekitar 130 hektar, dengan ratusan rumpun bambu dan ribuan pohon dari ratusan jenis pohon buah dan kayu. Hutan tersebut terbuka dikunjungi untuk wisata alam ataupun untuk penelitian sebagaimana yang dicita-citakan laki-laki yang akrab disapa Bang Idin alias Babe. Dua penghargaan Kalpataru diraihnya.

”Gue memang tinggal dan berusaha di sini. Tapi gue enggak pernah mikir lahan hutan kota ini sebagai milik pribadi. Gue menguasai lahan ini agar tetap menjadi hutan. Gue kelola sesuai cara gue,” katanya.

Ia juga percaya diri. ”Gue enggak khawatir masa depan hutan ini karena undang-undangnya jelas, lahan bantar sungai adalah milik pemerintah, milik umum, tidak boleh milik pribadi,” ujarnya.

Bang Idin dan keluarga besarnya lahir dan dibesarkan di tepi Kali Pesanggrahan itu. Bang Idin muda pernah merantau ke Lampung menjadi buruh serabutan. Di tanah Sumatera itu, dia mengenal alam liar, yakni goa-goa di hutan Lampung. Babe pun pernah membantu sekelompok pewarta asing dari majalah populer tentang bumi dan alam semesta.

”Gue tukang panggul kamera dan bantu cari jejak harimau sumatera,” katanya.

Keasyikannya di ranah pulau seberang itu berakhir dengan sakit yang nyaris merenggut maut. Babe pun kembali ke kampung halaman. Di kampung, ia geram. Sungai tempat ia mandi dulu, yang airnya jernih, menjadi banyak sampah di kanan-kiri bantaran dan aliran sungainya. Jadilah Babe si pemulung memilah sampah yang bisa dibersihkan dan dijual, sisanya dibakar.

Ia juga mulai memusatkan lokasi pembuangan sampah warga dan menanami bantaran dengan pepohonan. Sepetak demi sepetak bantar sungai itu dikuasainya. Untuk menghidupi keluarga dan kelompok warga pendukungnya, ia mengelola kebun sayur, buah, kolam ikan, dan mengembangkan pengelolaan sampah.

Tindakannya berbuah baik, warga setempat yang dulu menolak akhirnya bisa dirangkul. Dukungan pun mengalir dari banyak pihak, termasuk pemerintah.

Bahasa alam

Pengabdian terhadap kelestarian Kali Pesanggrahan juga ditunjukkan Mardi Siswinarko (53) alias Singo. Lelaki asal Malang, Jawa Timur, itu tergerak hatinya merawat bantaran Kali Pesanggrahan di wilayah Cinere, Kota Depok, selama belasan tahun.

Bersama beberapa teman, Singo mendirikan Komunitas Pencinta Kali Pesanggrahan (Komppas) pada 2008 di bawah asuhan Babe. Meskipun Komppas hanya beranggotakan segelintir orang, Singo tak terlalu khawatir. Bahkan, dia kerap bergerak sendiri menyusuri badan sungai berbekal golok dan pelampung.

Sampah, terutama sampah plastik, kayu, dan beragam limbah rumah tangga lain yang dia temukan di bantaran ataupun badan sungai dikumpulkan kemudian dibakar. ”Kalau hanya dipinggirkan di tepi sungai, nanti hanyut lagi sampahnya,” ucap Singo.

Dia tidak akan segan menegur, bahkan mengajak berkelahi orang yang membuang sampah sembarangan ke kali. Tanpa basa-basi, Singo menyebut tindakan itu sebagai kejahatan, bahkan pantas dihukum mati. ”Makanya, saya tidak tenang kalau meninggalkan kali terlalu lama. Nanti ada saja yang buang sampah sembarangan,” kata Singo.

”Saya percaya, kalau kita baik dengan alam, alam juga akan berbuat baik pada kita. Begitu juga sebaliknya. Jadi, kalau saya sedang membersihkan sungai, masak akan dihanyutkan juga oleh alam, he-he-he...,” ujar Singo seraya berkelakar.

Singo tinggal di sebuah rumah sederhana dua lantai di tepi Kali Pesanggrahan. Bertahun-tahun beraktivitas di sekitar sungai, membuat Singo belajar cara membaca gejala alam. Misalnya saja, jika dia melihat burung sriti yang biasa bersarang di bawah jembatan Jalan Bandung perbatasan Cinere, Depok, dan Jakarta Selatan berkeliaran di pohon menjelang gelap, biasanya debit sungai akan meningkat pada malam harinya.

”Alam itu banyak memberikan kita pelajaran,” ujar Singo.

Meskipun mungkin belum segigih Babe dan Singo, juga ada Amsori (65), pemrakarsa Satgas Danau Cavalio yang juga Ketua RT 015 RW 001 Kelurahan Pesanggrahan. Danau Cavalio buatan di tepi Pesanggrahan berdekatan dengan kompleks makam Tanah Kusir.

”Awalnya, aliran kalinya berbelok lalu disodet dan jadi danau ini. Danau ini ada mata airnya, jadi tidak pernah kering. Air dari danau bisa mengalir ke kali karena ada klep pintu. Tapi dari kali tidak bisa masuk ke danau,” katanya.

Wagino, wakil RW 001 yang juga bendahara Satgas Danau Cavalio, menambahkan, warga yang bergabung dalam satgas berupaya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan danau. ”Kami menanam dengan sukarela pohon-pohon dan bunga-bunga yang ada di sini. Saya menyediakan karung-karung plastik untuk warga atau pengunjung danau membuang sampah. Lalu, saya pribadi mengupah tukang angkut sampah ke TPA,” katanya.

Optimalkan partisipasi

Nirwono Joga, arsitek lanskap dan juga penggerak Peta Hijau, mengatakan, sungai merupakan sumber kehidupan dan peradaban. Pengelolaan terhadap sungai bisa menjadi tolok ukur kemajuan peradaban kota, sedangkan kondisi sungai mencerminkan cara pandang warga dan pemerintah setempat terhadap sungai di wilayah mereka.

Ironisnya, 13 sungai di Jakarta yang seharusnya menjadi potensi luar biasa selama ini terabaikan. Saat Asia Pacific Urban Forum (APUF) Ke-6 di Jakarta akhir 2015, Direktur Program Studi Pembangunan University of the South Pacific di Fiji Profesor Vijay Naidu berpendapat, salah satu cara membangun kota yang memanusiakan manusia adalah dengan mengoptimalkan partisipasi warga. Aspirasi semua warga diserap dan tidak ada yang merasa ditinggalkan.

Apa yang disampaikan Vijay relevan dalam konteks pengelolaan sungai di Jakarta. Saatnya pemerintah aktif merangkul para jawara lingkungan yang tanpa pamrih itu untuk gerakan masif menata ulang Jakarta.

(RATIH P SUDARSONO/HARRY SUSILO/HARYO DAMARDONO/ NELI TRIANA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Agustus 2016, di halaman 1 dengan judul "Kisah Para Jawara Penjaga Kali".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bukan Melompat, Disdik DKI Sebut Siswa SMP Jaksel Terpeleset dari Lantai 3

Bukan Melompat, Disdik DKI Sebut Siswa SMP Jaksel Terpeleset dari Lantai 3

Megapolitan
Insiden Siswa SMP Lompat dari Lantai 3, KPAI Minta Disdik DKI Pasang Sarana Keselamatan di Sekolah

Insiden Siswa SMP Lompat dari Lantai 3, KPAI Minta Disdik DKI Pasang Sarana Keselamatan di Sekolah

Megapolitan
3 Saksi Diperiksa Polisi dalam Kasus Dugaan Penistaan Agama yang Jerat Pejabat Kemenhub

3 Saksi Diperiksa Polisi dalam Kasus Dugaan Penistaan Agama yang Jerat Pejabat Kemenhub

Megapolitan
Seorang Pria Tewas Tertabrak Kereta di Matraman

Seorang Pria Tewas Tertabrak Kereta di Matraman

Megapolitan
Disdik DKI Bantah Siswa di Jaksel Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah karena Dirundung

Disdik DKI Bantah Siswa di Jaksel Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah karena Dirundung

Megapolitan
BNN Masih Koordinasi dengan Filipina Soal Penjemputan Gembong Narkoba Johan Gregor Hass

BNN Masih Koordinasi dengan Filipina Soal Penjemputan Gembong Narkoba Johan Gregor Hass

Megapolitan
Polisi Minta Keterangan MUI, GBI, dan Kemenag Terkait Kasus Dugaan Penistaan Agama Pendeta Gilbert

Polisi Minta Keterangan MUI, GBI, dan Kemenag Terkait Kasus Dugaan Penistaan Agama Pendeta Gilbert

Megapolitan
Walkot Depok: Bukan Cuma Spanduk Supian Suri yang Kami Copot...

Walkot Depok: Bukan Cuma Spanduk Supian Suri yang Kami Copot...

Megapolitan
Satpol PP Copot Spanduk Supian Suri, Walkot Depok: Demi Allah, Saya Enggak Nyuruh

Satpol PP Copot Spanduk Supian Suri, Walkot Depok: Demi Allah, Saya Enggak Nyuruh

Megapolitan
Polisi Bakal Panggil Indonesia Flying Club untuk Mengetahui Penyebab Jatuhnya Pesawat di BSD

Polisi Bakal Panggil Indonesia Flying Club untuk Mengetahui Penyebab Jatuhnya Pesawat di BSD

Megapolitan
Siswi SLB di Jakbar Dicabuli hingga Hamil, KPAI Siapkan Juru Bahasa Isyarat dan Pendampingan

Siswi SLB di Jakbar Dicabuli hingga Hamil, KPAI Siapkan Juru Bahasa Isyarat dan Pendampingan

Megapolitan
Ada Pembangunan Saluran Penghubung di Jalan Raya Bogor, Rekayasa Lalu Lintas Diterapkan

Ada Pembangunan Saluran Penghubung di Jalan Raya Bogor, Rekayasa Lalu Lintas Diterapkan

Megapolitan
KPAI Minta Polisi Kenakan UU Pornografi ke Ibu yang Rekam Anaknya Bersetubuh dengan Pacar

KPAI Minta Polisi Kenakan UU Pornografi ke Ibu yang Rekam Anaknya Bersetubuh dengan Pacar

Megapolitan
Sudah Lakukan Ganti Untung, Jakpro Minta Warga Kampung Susun Bayam Segera Kosongi Rusun

Sudah Lakukan Ganti Untung, Jakpro Minta Warga Kampung Susun Bayam Segera Kosongi Rusun

Megapolitan
Anak di Jaktim Disetubuhi Ayah Kandung, Terungkap Ketika Korban Tertular Penyakit Kelamin

Anak di Jaktim Disetubuhi Ayah Kandung, Terungkap Ketika Korban Tertular Penyakit Kelamin

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com