Hampir seluruh permasalahan yang pernah ada di Rusun Tzu Chi kini terjadi di hampir semua rusunawa Pemprov DKI yang dihuni warga relokasi. Umumnya para penghuni mengalami kesulitan ekonomi karena pekerjaannya sebagai pedagang, sementara umumnya rusunawa berada jauh dari permukiman ataupun pasar sebagai sarana mereka berdagang.
Sosiolog Universitas Indonesia, Setya Damayanti, mengatakan, idealnya proses relokasi warga dari bantaran kali ke rumah susun membutuhkan waktu dua tahun. Waktu untuk proses pendekatan, pemetaan, pendataan, penempatan, penertiban, penataan, dan pemberdayaan. Namun, hal itu hampir tidak pernah dilakukan dalam program relokasi pemerintah.
"Pemerintah juga tidak punya aturan baku relokasi. Masalah lain timbul ketika sungai yang dinormalisasi merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya kebagian tugas menertibkan hunian di bantaran. Lemahnya koordinasi serta keterbatasan sumber daya manusia selalu jadi kendala," tuturnya.
Pendidikan ataupun pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan seperti di Rusun Tzu Chi tak dijumpai di rusunawa Pemprov DKI.
"Pelatihan dan pendidikan bagi anak-anak itu sangat diperhatikan pengelola di rusun ini. Kami jadi punya harapan lebih baik," kata Sumarlik.
Dari sisi penataan ruang permukiman, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Real Estat Hari Ganie, setiap permukiman baru harus memperhitungkan kebutuhan sosial-ekonomi penghuninya. Hunian perlu dibangun sebagai hunian campuran agar kegiatan ekonomi penghuninya dapat bergerak. Hunian itu tak hanya menyediakan rusunawa untuk warga relokasi, tetapi juga untuk umum dengan biaya sewa yang sesuai dengan harga pasar.
"Dengan adanya perbedaan kemampuan ekonomi, ekonomi warga miskin pun bergerak. Hunian yang homogen itu relatif menyulitkan warga yang bekerja di sektor informal," katanya.
Sosiolog UI, Otto Hernowo Hadi, mengatakan, DKI perlu membuat rencana induk penataan kota yang holistik dengan melibatkan masyarakat. Rencana induk itu untuk menjamin penataan itu bisa berjalan berkesinambungan hingga 25 tahun ke depan. Dengan demikian, tak peduli siapa pun kepala daerahnya, penataan tetap berjalan. Ia mencontohkan, penataan kampung lewat program MH Thamrin di era Gubernur Ali Sadikin pada 1974 berhasil berkat kekuatan penguasa saat itu. Tetapi, kalau dari sisi kepuasan dan keterlibatan masyarakat, proyek itu jauh di bawah harapan.
"Kini saatnya politik pemerintah kota dengan memperhatikan unsur kemanusiaan, selain memperhatikan legalitas hukumnya," kata Otto.
(Dian Dewi Purnamasari/Madina Nusrat)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 November 2016, di halaman 27 dengan judul "Belajar Menata Berkesinambungan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.