Dalam konteks ini, menjadi menarik untuk mencermati uji materi UU Mahkamah Konstitusi yang sekarang sedang berjalan, yang jika dikabulkan dapat menyebabkan hakim konstitusi bisa menjabat seumur hidup.
Pertanyaannya, apakah hakim konstitusi dapat memutus soal batas umur masa jabatannya sendiri?
Lalu, apakah Integritas hakim konstitusi kita sudah layak untuk mendapatkan apresiasi jabatan seumur hidup?
Kembali ke soal Ahok dan kasus dugaan penodaan agamanya. Saya tidak akan masuk ke ranah pidananya, soal apakah betul Ahok melakukan penodaan agama atau tidak.
Biarlah itu menjadi kompetensi para ahli pidana dan akhirnya majelis hakim yang memutuskannya.
Sebagai orang yang lebih banyak belajar soal hukum tata negara, saya tidak ingin berpendapat pada bidang yang tidak saya kuasai.
Karenanya, izinkan saya hanya berfokus pada bagaimana cara kita mengawal agar kasus Ahok tetap dalam koridor penegakan hukum yang independen, tanpa menghadirkan intervensi yang justru merusak proses keadilan itu sendiri?
Ada pandangan bahwa kasus Ahok saat ini dipengaruhi oleh aksi massa (mobocracy).
Pandangan demikian didasarkan adanya demonstrasi yang memaksa agar Ahok ditetapkan menjadi tersangka, ditahan, bahkan harus divonis bersalah sehingga wajib masuk penjara.
Sebagai orang hukum, saya memang merasakan tekanan itu dan khawatir akan terjajahnya proses hukum dan tidak merdekanya lagi proses di kepolisian, kejaksaan, dan bahkan keputusan hakim kelak setelah persidangan.
Namun, di sisi lain, saya juga memahami bahwa ada kekhawatiran tanpa proses pengawalan yang ketat—termasuk desakan massa yang kuat—maka Ahok seakan-akan mendapatkan perlindungan dari kekuatan politik, yang menyebabkan dirinya imun dari proses hukum pidana.
Kedua belah pihak yang pro maupun kontra Ahok menurut saya harus bisa menahan diri untuk tidak melewati batas demarkasi, dari pengawasan dan pengawalan yang diperlukan, menuju intervensi yang merusak.
Proses hukum Ahok saat ini sudah masuk ke tahap persidangan. Kita semua harus memastikan agar majelis hakim yang memeriksa kasus Ahok dapat bekerja secara profesional, berdasarkan bukti, dan tidak memutuskan berdasarkan persoalan lain di luar ranah hukum pidana.
Mari kita semua menjadi penonton dan pengawal persidangan yang baik, yaitu tertib dan sopan dalam mengikuti persidangan, meskipun tetap dapat bersikap kritis.
Ingat, dalam mengikuti persidangan juga ada batasan. Jangan sampai melakukan contempt of court, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana. Salah satu sikap kita sebagai pengawal yang baik adalah menerima apa pun nanti putusan hakim dalam kasus Ahok ini.
Tidak boleh ada tekanan apa pun yang mewajibkan Ahok harus bebas ataupun Ahok harus dihukum. Revolusi tidak perlu diancamkan jikalau Ahok bebas, demikian pula sebaliknya.
Kalau ada pihak yang tidak puas, kita serahkan pada proses hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Jika ada sikap jaksa penuntut umum, advokat, hakim yang kita anggap tidak sesuai etika, kita laporkan ke Komisi Kejaksaan, organisasi advokat dan Komisi Yudisial.
Mari kita semua tetap mengikuti dengan kritis jalannya persidangan, sambil tetap menghormati kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Pada tahap persidangan semacam ini, sebaiknya pengerahan massa sebagai bentuk tekanan kepada jalannya persidangan, ada baiknya dihindari.
Bagaimanapun, kita harus memberi ruang pikir yang cukup kepada majelis hakim agar dapat memutuskan berdasarkan bukti hukum, logika pikir dan rasa hati yang berkeadilan.
Tekanan massa yang mewajibkan penghukuman atau sebaliknya, tidak akan membantu hadirnya proses hukum yang berkeadilan itu.
Mari kita pastikan persidangan Ahok berujung pada keadilan dan tidak menimbang Amok yang berujung pada kerusakan.
Keep on fighting for the better Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.