JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner KPU DKI Jakarta Dahliah Umar menguraikan latar belakang penerbitan Surat Keputusan (SK) Nomor 49/Kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2017 yang belakangan dipermasalahkan tim Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan kini dalam proses musyawarah penyelesaian sengketa di Bawaslu DKI Jakarta.
Tim Basuki-Djarot mempermasalahkan SK Nomor 49 itu karena dianggap menyalahi aturan serta mengharuskan mereka selaku pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta untuk cuti dari jabatannya selama masa kampanye pilkada putaran kedua.
(Baca juga: Perludem: SK KPU DKI soal Kampanye Putaran Kedua Sudah Tepat)
Menurut Dahliah, sebelumnya KPU DKI menerbitkan SK Nomor 41/Kpts/KPU-Prov-010/Tahun 2016 pada 14 September 2016 tentang Tahapan dan Jadwal Pilkada DKI Jakarta.
Namun, SK Nomor 41 itu belum menjelaskan bagaimana tata cara penyelenggaraan putaran kedua.
Sementara itu, berdasarkan PKPU Nomor 6 Tahun 2016 Pasal 39, KPU daerah di wilayah kekhususannya harus menetapkan tata cara pedoman teknis tata cara pelaksanaan penyelenggaraan tahapan.
"Karena itu, kami melakukan penyempurnaan karena di SK 41 hanya mengatur tahapan program dan jadwal. Kami menyempurnakan dengan jelaskan juga bagaimana tata cara penyelenggaraan pendaftaran pemilih putaran kedua," kata Dahliah usai musyawarah lanjutan penyelesaian sengketa di Kantor Bawaslu DKI Jakarta, Senin (20/3/2017) malam.
Berkaitan dengan kampanye dalam SK Nomor 41, kata Dahliah, ketentuan yang tertera hanya menerangkan soal penajaman visi-misi debat.
Menurut para komisioner KPUD DKI, hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Poin yang membuatnya jadi bertentangan adalah soal metode kampanye dalam sebuah pemilihan yang tidak dibatasi.
Selain itu, SK Nomor 41 belum memuat penjelasan bentuk dan model kampanye yang harus dilaksanakan pada pilkada putaran kedua di DKI Jakarta.
"Karena yang berlaku sekarang UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2016 dinyatakan bahwa kalau KPU derah kekhususan mau membuat aturan tahapan harus dikembalikan tata caranya ke UU yang berlaku, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Daliah.
"Maka kami nyatakan bahwa kampanye sama dengan putaran pertama tapi dengan pengecualian," sambung dia.
Pengecualian yang dimaksud adalah tidak lagi menggunakan alat peraga kampanye dan mengadakan rapat umum.
Dua cara itu ditiadakan melalui SK Nomor 49 atas dasar pertimbangan kampanye putaran kedua bukan lagi untuk mengenalkan paslon dan efisiensi anggaran.
Sepanjang musyawarah penyelesaian sengketa, tim advokasi Basuki-Djarot menilai KPUD DKI tidak bisa mengubah aturan main di saat "pertandingan" masih berlangsung.
Namun, Dahliah menilai, pihaknya berwenang melakukan hal tersebut karena didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Dahliah mencontohkan kebijakan lain yang erat kaitannya dengan perubahan, yakni soal daftar pemilih.
Menurut dia, kemungkinan besar daftar pemilih pada Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua bertambah dibanding putaran pertama karena aturan memang menentukan seperti itu.
"Kenapa pemilih itu nambah? Putaran kedua kenapa boleh yang 17 tahun tanggal 19 April? Itu karena di UU Nomor 10 Tahun 2016 usia pemilih itu 17 tahun pada hari pemungutan suara. Jadi, itu tidak boleh dilanggar," ujar Dahliah.
(Baca juga: Arteria Dahlan: KPU DKI Menyimpang karena Terbitkan SK Kampanye Putaran Kedua)
Musyawarah penyelesaian sengketa ini telah sampai pada tahap mendengarkan keterangan dari pihak pemohon (tim Basuki-Djarot), termohon (KPUD DKI Jakarta), dan saksi ahli dari pihak-pihak terkait.
Pimpinan musyawarah yang juga Ketua Bawaslu DKI Jakarta Mimah Susanti menjadwalkan putusan musyawarah penyelesaian sengketa ini pada Rabu (22/3/2017) pukul 13.00 WIB.