Oleh: AMANDA PUTRI NUGRAHANTI
Sebut saja namanya Gadis (17). Remaja putri cantik berkulit kuning langsat itu berjuang melupakan kejadian yang merenggut kehormatannya. Januari lalu, ia diperkosa. Ia melompati bagian itu saat menceritakan kisah hidupnya, sungguh tak ingin mengingatnya kembali.
Gadis adalah anak dari seorang ibu yang ditinggalkan oleh suaminya. Rasa benci kepada suaminya lalu dilampiaskan oleh si ibu pada putrinya itu.
"Tangan kiri saya dipotong sampai hampir putus. Urat-uratnya ikut putus. Sampai sekarang tidak bisa digunakan lagi. Dulu saya kidal, sekarang saya harus pakai tangan kanan untuk menulis. Dulu bisa main piano, sekarang tidak bisa lagi," ujarnya tersedu.
Tampak semburat keloid bekas luka di lengan kirinya yang tertutup lengan sweater warna pink.
Sampai saat ini, Gadis masih tidak mengerti mengapa ibunya begitu tega menyakitinya, menyiksanya saat ia masih kecil dulu. Kata-kata kasar ibunya juga yang membuatnya lari ke Bandung untuk mandiri. Namun, ia justru terperangkap jaringan perdagangan manusia. Beruntung ia berhasil melarikan diri dan sebagian pelakunya kini telah ditangkap.
Walaupun luka tubuh telah sembuh, luka batinnya masih menganga. Gadis mencucurkan air mata setiap kali mengingat peristiwa demi peristiwa.
"Saya sudah bertemu ibu psikolog, dibilangin untuk melupakan semuanya. Mungkin saya harus melalui jalan hidup seperti ini dan sekarang saya harus berjuang untuk meraih cita-cita," ujarnya.
Di Bandung, Gadis sempat bertemu dengan sebuah keluarga yang sangat baik yang menampungnya selama tiga bulan. Ia menemukan sosok ibu yang sangat menyayanginya di sana.
"Emak kangen sama saya. Saya juga kangen sekali sama Emak. Namun, saya enggak berani bertemu Emak sekarang. Ada yang hilang dari diri saya, saya sudah tak seperti dulu lagi," tuturnya.
Gadis, menurut salah satu pendamping di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, Maria Josefin Barus, termasuk salah satu korban kekerasan yang cukup kuat kondisinya. Tidak semua anak korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, bisa pulih dalam waktu singkat.
Gangguan jiwa
Korban kekerasan seksual lain, sebut saja M (12), bahkan mengalami gangguan jiwa berat akibat mengalami kekerasan seksual dari ayah dan kakak kandungnya sendiri. Ia menjalani rehabilitasi di RPSA satu tahun terakhir dan baru pekan lalu pihak gereja menjemputnya karena dia tidak mungkin dikembalikan ke rumahnya.
Kepala PSMP Handayani, Neneng Heryani, menyebutkan, M mengalami trauma berat. Pihak panti tak sanggup menanganinya sehingga kerap harus dirujuk ke rumah sakit jiwa. M sangat terguncang karena ia mengalami kekerasan di rumahnya sendiri oleh orang- orang terdekatnya yang seharusnya melindunginya.
Kekerasan selalu mengintai anak-anak kita, bahkan di lingkungan terdekatnya. Salah seorang anak balita, sebut saja Dinda (3), juga harus menghadapi kekejaman orang dewasa di sekitarnya. Ibunya tenaga kerja Indonesia di luar negeri sehingga ia dititipkan kepada seseorang untuk mengasuhnya.
Malangnya, suami si pengasuh justru menyakiti Dinda. Ada banyak sekali bekas luka dan memar di tubuh Dinda, termasuk di bagian vaginanya. "Dia bisa menceritakan yang dialaminya, tetapi karena masih kecil, dia tidak mengerti. Dia hanya tahu rasanya sakit," kata Maria.
Maria mengatakan, bagi anak sekecil Dinda, luka mental masih belum begitu terasa. Ketika pertama kali datang, Dinda akhirnya bisa tidur nyenyak sedangkan sebelumnya selalu gelisah. Saat ini, ketika luka fisik di tubuhnya sudah mulai sembuh, ia bisa ceria kembali seperti anak- anak lain.
"Namun, kita tak tahu dampak yang mungkin terjadi," ujarnya.
Terungkapnya grup paedofil di media sosial Facebook beberapa waktu lalu makin membuktikan betapa anak-anak rentan menjadi target para predator. Para anggota grup yang diminta aktif mengunggah foto atau video seks dengan anak- anak tentu akan terus mencari anak-anak untuk dijadikan korban. Saat ini beberapa korbannya orang terdekat, sepupu, keponakan, atau tetangga.
Pada kasus ini, anak-anak, selain mengalami kekerasan seksual, juga mengalami kekerasan digital karena otomatis apa yang mereka alami disebarluaskan. Sampai kapan pun, video, foto, dan cerita mereka akan selalu ada di dunia maya, jadi pemuas nafsu manusia-manusia bejat.
Terbentur keterbatasan
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati mengatakan, kekerasan seksual meninggalkan luka batin yang tak mudah dipulihkan. Semua sangat bergantung pada kondisi setiap pribadi.
"Rehabilitasi korban kekerasan seksual mutlak dilakukan hingga korban dapat kembali pulih. Namun, rehabilitasi tidak bisa maksimal karena berbagai keterbatasan. Bahkan, tidak semua korban bisa mendapatkan kesempatan untuk menjalani rehabilitasi," kata Rita.
Rita menjelaskan, proses yang dilakukan selama ini mencakup rehabilitasi fisik juga psikologis. Namun, ketika korban dikembalikan kepada orangtua atau pihak yang dipercaya dapat menerima dan menjaga korban, tidak semuanya sudah benar-benar pulih. Pada banyak kasus, mereka seharusnya terus dipantau kondisi psikologisnya, sementara tidak banyak orangtua yang memiliki bekal memadai mendampingi anaknya.
"Akibatnya, banyak korban tak bisa pulih sepenuhnya. Padahal, mungkin luka itu tak bisa sembuh, tetapi setidaknya harus diupayakan agar mereka bisa kembali menjalani hidup," ujar Rita.
Ke depan, seharusnya negara dapat memfasilitasi kebutuhan korban kekerasan seksual dari sisi rehabilitasi karena hal itu telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga masih belum dapat menjangkau seluruh wilayah. Sebanyak 242 P2TP2A yang terbentuk hingga 2012 di 33 provinsi hanya bertambah menjadi 263 P2TP2A pada 2015.
"Sebetulnya pemerintah dapat memberdayakan infrastruktur yang sudah ada, yaitu puskesmas kecamatan dan kelurahan. Hanya perlu menambah tenaga konseling di puskesmas, layanan psikologi bagi warga, terutama para korban kekerasan. Juga edukasi kesehatan reproduksi sebagai upaya pencegahan dapat dilakukan para bidan di puskesmas," kata Rita.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 April 2017, di halaman 26 dengan judul "Luka Batin yang Sulit Pulih".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.