Sepengalaman saya, mereka menghimpun data demikian banyak baik dari dinas maupun dari kebiasaan konten dari pimpinan. Dengan kata lain, risiko krisis komunikasi sudah direduksi pada level terendah.
Faktanya, sangat banyak improvisasi tidak perlu bahkan malah tidak dibaca sama sekali. Kemudian kerap terjadi, terutama karena euforia mikrofon dan panggung tadi, konten sudah melebar ke mana-mana hingga keluar jauh dari tema acara.
Padahal, ini era camera branding, manakala audiens tak bisa kita larang merekam video dan atau mengambil foto dari pidato kita. Lalu, diunggah ke media sosial dengan segala intensi dan motivasinya yang tak bisa kita kontrol. Boom!
Ketiga, ketika new media kian tumbuh eksponensial bergerak melampaui utilitas dan posisi media konvensional, maka dibutuhkan kompetensi unik, spesifik, dan menarik yang harus dikantongi mereka yang berkomunikasi publik.
Kompetensi tersebut, selain merujuk pada keahlian dasar ilmu komunikasi (penulis menyebutnya kemampuan menulis, public speaking, multimedia, dan event management), juga harus sejalan dengan kebutuhan dari new media.
Atau dalam istilah lain yang dipopulerkan Indra Utoyo dalam buku Silicon Valley Mindset (Gramedia Pustaka Utama, 2016), haruslah beriringan dengan peradaban ekonomi konseptual yang menekankan high think, high tech, namun high touch.
Keempat, komunikasi tempramental dan ugal-ugalan sudah jelas lebih banyak mencuatkan mudarat dibandingkan maslahat. Sebagian menyebut sebagai bentuk terus terang, namun faktanya lebih banyak yang tersakiti, bahkan menularkan sisi kelamnya.
Kompas edisi awal Februari lalu menyebutkan, ketidaktertiban komunikasi publik bahkan menular destruktif seperti terjadi dalam serangan ke masjid Pusat Kebudayaan Islam di Quebec, Kanada, Minggu (29/12017), yang menewaskan enam orang, delapan luka-luka, dan lima kritis.
Saat ditangkap, sang pelaku Alexandre Bissonete (27 tahun) yang pendiam mengaku sebagai pendukung Presiden Donald Trump dan politikus sayap kanan Prancis, Marine Le Pen --dua figur yang dikenal kerap berkomunikasi emosional dan tempramental.
Makin sahih-lah teori tahun 1950-an dari Wilbur Schram bahwa pesan (Donald Trump) yang tersampaikan melalui media massa sekalipun satu arah, namun berdampak kuat karena jelas berhasil mengubah pria pendiam menjadi pembunuh berdarah dingin.
Kelima, ruang publik komunikasi sudah tak bisa hanya dibuka pada mereka yang satu pemikiran apalagi pendukung kita.
Jangan sampai terjadi lagi kita kehilangan sosok komunikator publik pemerintahan yang berusaha merajut simpul perbedaan ekstrim yang nyata muncul sekarang ini.
Tiada ayah, bapak bijaksana bagi warga sebagai anaknya, yang berusaha mempertemukan dulu semua dengan niat dan itikad non-partisan.
Jangan lagi komunikasi massa terus ditempatkan sebagai transaksi dagang; Ada ganjaran, ada biaya, ada hasil atau laba, serta tingkat perbandingan karena orang berkomunikasi hanya berharap sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Jika biaya (nilai negatif dari komunikasi sosial) dinilai lebih besar dari ganjaran (nilai positif dari hubungan sosial), sekalipun penilaian subyektif, maka tak perlu membuka ruang sekalipun posisinya sebagai ayah sebuah bangsa.