JAKARTA, KOMPAS.com - Tinggal di antara gedung-gedung tinggi bukanlah suatu hal yang aneh di Jakarta. Bahkan, banyak pula permukiman kumuh berada di belakang gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Namun, apa rasanya jika rumahmu benar-benar ada di tengah apartemen mewah.
Lies (64) merasakan betul sulitnya mempertahankan rumah tuanya yang masih berdiri di tengah komplek Apartemen Thamrin Exclusive Residence.
Meski tinggal di satu komplek yang sama, namun akses kebutuhan sehari-hari Lies sangat sulit didapatkan.
Tujuh tahun lamanya dia harus berjuang bertahan hidup di tengah keterbatasan fasilitas yang ada.
Baca juga: Rumah Tua Nyempil di Tengah Apartemen Mewah Jakpus, Ini Kisah Sang Pemilik
Lies sadar keputusannya tak mau menyerahkan rumah itu kepada pihak pengembang akan berbuntut panjang. Salah satunya adalah akses air bersih.
Air yang dahulu ia bisa gunakan kapan saja, kini harus berbagi dengan apartemen yang penghuninya sampai ratusan.
“Malahan air itu kesedot semua sama apartemen ini, saya tidak kedapatan sama sekali air,” ucap Lies saat dijumpai Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
Bahkan, ia empat mengajukan pemohonan pemasangan air PDAM ke rumahnya. Namun, permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh pengelola.
Baca juga: Punya Properti Mewah Lain, Lies Pilih Tetap Tinggal di Rumah Tua di Kompleks Apartemen
“Saya sudah bilang, biarin saja PDAM masuk ke rumah saya, saya yang bayar pipanya, tukangnya. Berapa meter sini saya yang bayarin, maksudnya biar bagi ke saya juga airnya,” ujar Lies.
Karena kesulitan air itu, ia pun harus membeli 25 galon air bersih setiap harinya. Itu untuk kebutuhan Lies, suami, dan satu anaknya yang masih duduk di kelas 6 SD.
Membawa banyak galon ke dalam rumahnya juga bukan perkara mudah. Meski dibantu sang suami membawa galon-galon itu, ia tetap mengeluhkan sakit setiap membawa galon itu.
“Ini kan jalan masuk ke rumah saya lihat ya sempit terus licin, kadang suka kepleset saya gara-gara ngangkut air,” ucapnya.
Kesulitan Lies tak berhenti di situ. Ibu tiga anak ini bahkan pernah diminta bayar parkir untuk masuk ke kawasan apartemen. Padahal, dia hendak pulang ke rumahnya yang ada di sisi belakang apartemen.
“Pernah dimintai untuk Rp 500.000 mobil dan Rp 300.000 motor per bulannya. Saya tidak mau, akhirnya sekarang gratis. Enak saja mereka minta-minta ke saya, orang ini tanah juga tanah nenek moyang saya,” tukas Lies.