Boris Kurius Malau, kuasa hukum ahli waris, menyatakan, tindakan warga dipicu kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diduga merampas tanah milik Siman seluas 20.020 meter persegi.
Menurut Boris, Siman atau ahli waris berhak atas tanah yang kini jadi tempat berdirinya kompleks Pondok Karya Pembangunan Jakarta Islamic School (PKP JIS) yang dikelola Yayasan PKP DKI Jakarta.
Dasar ahli waris adalah Girik C, Nomor 119, Persil 24, Blok D.II atas nama Siman bin Buntun.
”Bertahun-tahun ahli waris menuntut ganti rugi, tapi tak dipedulikan sehingga timbul tindakan ini,” kata Boris.
Baca juga: Pemprov DKI Akan Gelontorkan Hibah Rp 900 Juta ke Yayasan Binaan Wakil Ketua DPRD DKI Zita Anjani
Saat itu, kerabat ahli waris mendatangi dan mengotori sekolah dengan menjatuhkan tong berisi sampah. Pintu kelas juga ditempeli kertas bertulisan ”Sekolah ini disegel ahli waris (alm) Siman”.
Ketika datang dan melihat situasi itu, siswa bingung dan panik. Guru akhirnya mengumpulkan siswa di mushala dan mengumumkan dua hari siswa belajar di rumah dan diberi tugas.
Saat siswa diberi pengumuman, kerabat ahli waris membongkar tembok MTs dan SMK 1 di Gang Darussalam. Ketika semua siswa pulang, kerabat memalangi pintu kelas dengan bambu dan kayu.
Kepala Bagian Humas Yayasan PKP Endang Supriyatna saat itu menyesalkan siswanya tidak bisa belajar akibat pembongkaran tembok dan penyegelan sekolah. Tindakan ahli waris itu salah sasaran karena pemilik lahan dan bangunan adalah Pemprov DKI Jakarta.
”Seharusnya tuntutan ditujukan ke sana karena kami ditunjuk cuma sebagai pengelola oleh pemerintah,” kata Endang.
Baca juga: Dispora DKI Anggarkan Rp 2,7 Miliar untuk Kegiatan yang Dipimpin Ketua DPW PSI Jakarta
Kepala Bidang Pengendalian dan Perubahan Status Aset Badan Pengelolaan Keuangan Daerah DKI Jakarta saat itu, Didit Yustiana, mengatakan, lahan yang dipersoalkan itu sudah dibebaskan pada 1974-1976 di era Gubernur Ali Sadikin. Luasnya 185.300 meter persegi, termasuk Danau PKP atau masih disebut Rawabambon.
”Sudah diinventarisasi,” kata Didit.
Kendati sudah dibebaskan sejak lama, sampai saat itu lahan belum bersertifikat. Dokumen atas tanah itu masih berupa girik dan jumlahnya banyak.
”Dulu pernah diusulkan ke BPN, tetapi tanah itu sangat luas. Pemerintah belum siap, terutama dengan faktor nonteknis,” kata Didit.
Waktu itu, anggaran untuk sertifikasi belum cukup dan tidak bisa diambil dari APBD. Belakangan, anggaran untuk sertifikasi sudah diusulkan lagi.
”Kami pernah menawarkan agar membawa masalah ini ke pengadilan, tetapi mereka tidak mau,” kata Didit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.