JAKARTA, KOMPAS.com - Kompleks Pasar Senen di Jakarta Pusat telah 287 tahun menjalani fungsi sebagai simpul penggerak ekonomi utama wilayah Ibu Kota.
Sejarah Pasar Senen bermula pada tahun 1735. Di tahun tersebut, seorang tuan tanah kaya asal Belanda, Yustinus Vinck, membangun sepasang pasar “kembar” di Batavia, yakni Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang.
Kawasan Pasar Senen kemudian didominasi oleh pedagang Tionghoa yang hanya berdagang setiap hari Senin.
Saat itu, banyak yang menyebut pasar ini sebagai pasar ”snees” yang merupakan julukan orang Belanda terhadap warga Tionghoa.
Namun pada akhirnya pasar ini lebih populer dikenal sebagai Pasar Senen karena aktivitas pasar hanya ramai setiap hari Senin.
Baca juga: Sejarah Pasar Senen, Dahulu Hanya Buka di Hari Senin
Dikutip dari arsip harian Kompas, dalam buku Rentjana Dasar Pembangunan Proyek Senen (1964) dituliskan bahwa pada tahun 1964, Pasar Senen dijadikan penanda modernisasi kota yang digagas Gubernur DKI Mayjen TNI Soemarno Sosroatmodjo.
Kala itu, gubernur mengundang pihak swasta untuk turut berpartisipasi dalam membangun Ibu Kota.
Kawasan Senen yang memang sudah berkembang menjadi pusat perekonomian pun menjadi sasaran, karena saat itu kawasan Pasar Senen dinilai kumuh dan tidak layak.
Lokasi Pasar Senen yang berada di tengah kota membuat kawasan ini masih menjadi satu dari sekian banyak jantung ekonomi Ibu Kota.
Lokasi Pasar Senen juga sangat dekat dengan Istana Negara dan Istana Kepresidenan serta dapat menjadi ikon Jakarta.
Berbagai permasalahan yang mendera Pasar Senen kala itu adalah lalu lintas dan tempat parkir kendaraan tidak teratur karena jalan sempit.
Pasar sayur juga tidak teratur, selalu becek, dan banyak sampah. Los dan kios pun tidak memenuhi syarat kesehatan sama sekali.
Tujuan pembangunan proyek Senen adalah untuk menghilangkan satu daerah di pusat kota yang tidak memenuhi syarat, serta membangun sebuah pusat perdagangan yang sesuai dengan kebesaran bangsa Indonesia.
Saat itu, pengembang yang tertarik membangun Senen adalah mendiang Ciputra.
Ciputra yang ketika itu masih baru di bidang properti dan masih berkantor di Bandung memberanikan diri bertemu dengan gubernur di Balai Kota. Akhirnya Ciputra bisa mendapatkan proyek tersebut.