Korban pertama-tama diminta membuat akun di website itu. Artinya, korban mendaftarkan diri menjadi merchant di sana.
Meski berstatus merchant, korban diminta membeli barang di dalam website itu. Semisal meja, kursi, lampu hias, dan sebagainya.
Belanja dilakukan menggunakan aplikasi.
Baca juga: Kisah “Tinder Swindler” Versi Indonesia: Pelaku Bermodus Romansa, Korban Merugi Miliaran Rupiah
Sekilas, mekanisme kerjanya seperti dropshipper di mana pemilik toko tidak mesti berurusan dengan barang dan pengemasan. Pemilik toko hanya membeli item di daftar yang disediakan, lalu menjualnya kembali.
Pelaku menjanjikan keuntungan 10 persen setiap barang laku terjual.
Setelah korban top up di aplikasi tersebut dalam kurs Dollar AS, muncul notifikasi pemesanan barang. Artinya, dana yang sudah di-top up korban terpotong sesuai dengan nilai barang.
Mekanisme itu terus menerus terjadi sehingga memaksa korban untuk terus melakukan top up.
Seolah-olah tokonya laris manis, padahal semua aktivitas perdagangan di website itu adalah bikinan pelaku.
Korban tidak sempat mencicipi keuntungan. Tanpa disadari, modal yang digelontorkan sudah banyak dan pada momen inilah biasanya para korban baru menyadari bahwa mereka telah tertipu.
(Catatan redaksi: Apabila Anda merupakan korban penipuan seperti artikel di atas dan ingin berbagi kisah, silakan hubungi tim Megapolitan di sejumlah akun media sosial Kompas.com, yakni Twitter, Instagram, TikTok, atau Telegram.)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.