JAKARTA, KOMPAS.com – Korban penipuan “Tinder Swindler” versi Indonesia kebanyakan memiliki latar belakang yang sama, yakni single mom, mapan secara finansial, serta hendak mencari pasangan hidup.
Hal tersebut diungkapkan salah satu korban berinisial TY ketika berbincang dengan tim Kompas.com, Sabtu (15/7/2023).
“Kebanyakan dari kami statusnya bercerai dan memiliki permasalahan hidup sehingga butuh seseorang untuk bercerita,” ujar TY.
Oleh sebab itu, kasus penipuan ini cukup memberatkan mental dan pikiran beberapa korban. Karena, mereka sebenarnya hanya ingin membangun kehidupan rumah tangga yang baru usai mengalami kegagalan.
“Ada yang bilang, mau bunuh diri segala. Kan kasihan banget ya,” ujar TY.
Profesi para korban juga tidak main-main. Ada yang berprofesi sebagai auditor keuangan, manajer perusahaan swasta, guru di sekolah internasional, bankir, pengusaha, hingga dokter.
Maka tak heran bila pelaku bisa meraup untuk yang tidak sedikit dari para korbannya. Ada yang puluhan juta, bahkan ada yang tertipu nyaris Rp 1 miliar.
Menurut TY, latar belakang seperti itu yang memang diincar pelaku. Sebab, pelaku sendiri mencitrakan diri sebagai sosok pria tampan, memiliki pekerjaan bonafid, kaya raya, memprioritaskan keluarga, tetapi kesepian.
“Di mata wanita-wanita seperti kami, image pelaku itu sempurna. Family man banget, suka sama anak kecil, mau bersih-bersih kayak menyapu mengepel, suka masak. Pokoknya perfect banget,” ujar TY.
“Itulah yang mungkin bikin para korban ini langsung klepek-klepek,” lanjut dia.
Kini, para korban sudah saling berjejaring. Per Rabu (19/7/2023), jumlah korban yang sudah berhasil terhimpun sebanyak 27 orang. Adapun, total kerugian ditaksir lebih dari Rp 3 miliar.
Mereka juga sudah memutuskan untuk melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya pada hari yang sama. Laporan polisi teregister dengan nomor LP/B/4163/VII/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA.
Namun, bagi para korban, peristiwa ini jauh lebih penting untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia, terutama para wanita yang hendak membangun hubungan melalui dating apps agar tidak ada korban lagi di kemudian hari.
Modus operandi
Berdasarkan keterangan para korban, pertemuan dengan pelaku seluruhnya melalui dating apps. Pelaku berupaya meraih kepercayaan dari korban terlebih dahulu dengan berbagai cara.
Setelah berhasil membangun kepercayaan, pelaku menyinggung bisnis jual beli daring yang disebutnya sebagai salah satu sumber kekayaannya selama ini, yakni berjualan barang secara daring di sebuah website.
Korban pertama-tama diminta membuat akun di website itu. Artinya, korban mendaftarkan diri menjadi merchant di sana.
Meski berstatus merchant, korban diminta membeli barang di dalam website itu. Semisal meja, kursi, lampu hias, dan sebagainya.
Belanja dilakukan menggunakan aplikasi.
Sekilas, mekanisme kerjanya seperti dropshipper di mana pemilik toko tidak mesti berurusan dengan barang dan pengemasan. Pemilik toko hanya membeli item di daftar yang disediakan, lalu menjualnya kembali.
Pelaku menjanjikan keuntungan 10 persen setiap barang laku terjual.
Setelah korban top up di aplikasi tersebut dalam kurs Dollar AS, muncul notifikasi pemesanan barang. Artinya, dana yang sudah di-top up korban terpotong sesuai dengan nilai barang.
Mekanisme itu terus menerus terjadi sehingga memaksa korban untuk terus melakukan top up.
Seolah-olah tokonya laris manis, padahal semua aktivitas perdagangan di website itu adalah bikinan pelaku.
Korban tidak sempat mencicipi keuntungan. Tanpa disadari, modal yang digelontorkan sudah banyak dan pada momen inilah biasanya para korban baru menyadari bahwa mereka telah tertipu.
(Catatan redaksi: Apabila Anda merupakan korban penipuan seperti artikel di atas dan ingin berbagi kisah, silakan hubungi tim Megapolitan di sejumlah akun media sosial Kompas.com, yakni Twitter, Instagram, TikTok, atau Telegram.)
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/08/22/12000031/wanita-korban-tinder-swindler-versi-indonesia-kebanyakan-single-mom-kaya