JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Teten Masduki heran melihat lengangnya kondisi Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Selasa (19/9/2023) siang.
Teten sempat berbincang dengan para pedagang saat mengunjungi Blok A Pasar Tanah Abang. Di sana, ia mendengar banyak keluhan dari pedagang.
Setidaknya ada enam kios yang disambangi Teten. Semua pedagang mengeluhkan hal yang sama, omzet turun dan sepi pembeli sejak pandemi.
Baca juga: Menteri Teten Tinjau Pasar Tanah Abang, Pedagang Curhat Omzet Turun Drastis
Teten menyayangkan toko yang sepi pembeli, padahal memiliki produk-produk baju yang apik dan bagus.
“Padahal barangnya bagus,” kata Teten sambil memandang ke sekeliling toko itu, kemudian sang penjaga toko mengiyakan.
“Iya, barang mah bagus, tapi enggak ada yang beli, paling yang langganan saja,” terang wanita itu.
Teten sebelumnya mengatakan, salah satu penyebabnya Pasar Tanah Abang sepi adalah produk dalam negeri tak bisa bersaing dengan produk impor yang dijual lebih murah di platform e-commerce dan social commerce.
Baca juga: Soroti Sepinya Pasar Tanah Abang, Teten: Produk Nasional Kalah...
"Pasar offline seperti tanah abang mati. Produk UMKM di online enggak bisa bersaing dengan produk impor. Sebanyak 80 persen penjual/seller di online menjual produk impor terutama dari China," kata Teten kepada Kompas.com, Sabtu (18/9/2023).
Teten mengatakan, pemerintah sedikit terlambat untuk mengatur platform digital seperti e-commerce dan social commerce. Selain itu, transformasi digital hanya berkembang di sektor perdagangan (e-commerce) di sektor hilir, bukan di sektor produksi.
"Makanya, produksi nasional kalah dengan produk dari luar yang lebih murah, karena produksinya lebih efisien dan berkualitas," ujarnya.
Teten juga mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan jajarannya dan pihak swasta soal transformasi digital untuk kemajuan ekonomi nasional.
Namun, kata dia, saat ini belum ada teknologi seperti AI yang diterapkan untuk kemajuan sistem produksi nasional baik di industri manufaktur, agrikultur, agro maritim, dan kesehatan.
"Akibatnya transformasi digital di Indonesia enggak melahirkan ekonomi baru, hanya membunuh ekonomi lama. Kue ekonominya enggak bertambah, tapi faktor pembaginya makin banyak," tuturnya.
Sepinya penjualan di Pasar Tanah Abang sudah dikeluhkan pedagang beberapa tahun terakhir ini. Mereka mengakui kian babak belur sejak menjamurnya perdagangan secara daring (online).
Meski Pasar Tanah Abang disebut sebagai pusat grosir yang terbesar di Asia Tenggara, pedagang di sana justru terancam gulung tikar. Bahkan, ada beberapa toko yang sudah tutup permanen.
Baca juga: Gundah Gulana Pedagang Pasar Tanah Abang yang Semakin Babak Belur Dihantam Penjualan Online
Hal itu terlihat ketika Kompas.com berkunjung pada Rabu (13/9/2023). Aktivitas pembeli di pasar itu memang sepi. Di blok B pasar Tanah Abang, banyak pedagang yang berdiam diri menunggu pembeli datang.
Ketika selasar di lantai lower ground (LG) akses timur blok B pasar dilewati, hanya segelintir toko yang didatangi pembeli.
Kondisi tak jauh berbeda juga terlihat di lantai ground atau lantai G. Di lantai yang menjajakan pakaian wanita, remaja, dan anak itu, pedagang juga banyak yang melamun.
Seorang pedagang bernama Galih Budi (23), membenarkan Pasar Tanah Abang kini sepi pembeli. Kondisi ini, kata dia, membuat beberapa toko terpaksa tutup.
"Sepi. Bukan malah sepi lagi, sebagian toko malah pada tutup," ucap Galih saat ditemui Kompas.com di kiosnya, Rabu (13/9/2023) sore.
Baca juga: Frustrasi Pasar Tanah Abang Sepi Pembeli, Pedagang: Kami Ingin Orang Balik Berbelanja Lagi
Salah satu pedagang bernama Edi (40) mengatakan, kondisi Pasar Tanah Abang yang sepi pembeli adalah bukti mereka tengah babak belur.
Edi berujar, perlu ada regulasi yang jelas orang-orang jadi berminat untuk kembali ke pasar.
"Buat pemerintah, dipantaulah. Masak pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara kayak kuburan?" kata Edi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (15/9/2023).
Meski tetap mengakui bahwa persaingan antara pasar online dan pasar offline memang sehat, namun ia tetap menilai bahwa pedagang pasar offline sedang kalah telak dengan kondisi yang ada.
Edi menduga, salah satu hal yang membuat penghasilan pedagang Pasar Tanah Abang terus merugi adalah tentang perbedaan harga sewa kios.
Baca juga: Pengamat Nilai Pasar Tanah Abang Sepi karena Pedagang Pindah Jualan Online
"Logikanya kalau online itu enggak sewa toko. Kasarnya tanpa karyawan pun bisa di rumah. Enggak sewa toko, enggak bayar biaya service charge," imbuh Edi.
Mereka bahkan tidak perlu memikirkan beban biaya untuk karyawan. Sementara dari sisi pembeli, mereka tinggal menunggu barang datang dan tidak perlu membuang waktu untuk pergi mencari barang yang dicari.
"Ini kami sewa toko sekian juta, (gaji) karyawan sekian. Otomatis harga barang ikuti beban. Kalau di rumah kan bisa tekan harga, makanya lebih murah. Wajar saja sih itu," tutur dia melanjutkan.
Selain diperhatikan, Edi juga menginginkan pemerintah membuat regulasi tentang penjualan pasar daring.
Sebab, masifnya aktivitas pasar daring membuat pembeli enggan untuk datang ke Pasar Tanah Abang.
Baca juga: Sepi Pembeli, Pedagang Tanah Abang Ingin Ada Regulasi yang Mengatur Penjualan Daring
"Nah, pemerintah mungkin punya regulasi untuk pedagang online bagaimana caranya biar seimbang. Pedagang online jalan, pedagang offline jalan," kata Edi.
Hal senada juga diungkap Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Wa Ode Herlina meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk membatasi penjualan di media sosial, TikTok Shop.
Ia meminta Pemprov DKI melalui Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi DKI Jakarta Sri Haryati untuk membuat aturan atau regulasi soal penjualan online melalui media sosial.
"Harus melindungi UMKM kita agar gimana mereka eksis. Jadi kalau bisa ada pagarnya lah. Keluhannya mereka 'susah banget lho sejak ada TikTok Shop'," kata Wa Ode, Jumat (15/9/2023).
Baca juga: Bangkit Berulang Kali dari Hantaman Bala, Akankah Tanah Abang Bertahan di Tengah Gempuran Teknologi?
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P Evita Nursanty juga menyoroti harga produk yang terlalu murah dan tidak masuk akal pada platfor TikTok tersebut.
"Kadang-kadang harganya tidak masuk akal (di TikTok), ada Madurasa harganya Rp 1.000. Itu sudah jelas dumping," kata Evita, Selasa (12/9/2023).
Evita mempertanyakan pengawasan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terhadap TikTok. Ia menilai pengawasan yang dilakukan Kemendag sudah gagal.
(Tim Redaksi : Xena Olivia, Haryanti Puspa Sari, Joy Andre, Muhammad Isa Bustomi, Jessi Carina, Ambaranie Nadia Kemala Movanita, Ihsanuddin, Nursita Sari, Erlangga Djumena)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.