JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah orang lalu-lalang dengan sepeda motornya ke tujuan masing-masing melintasi Tanjakan Lengkong yang berlokasi di Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Tanjakan tersebut berada di tengah-tengah pemukiman padat penduduk. Oleh karena itu, banyak yang menyebut wilayah tersebut mirip dengan permukiman Favela di Rio de Janeiro, Brasil.
Tanjakan ini tidak dapat dilintasi kendaraan roda empat. Sementara, motor pun hanya muat satu saja.
Pengendara sepeda motor harus menunggu aba-aba dari para penjaga Tanjakan Lengkong untuk naik ataupun turun.
Baca juga: Menjala Harapan di Kampung Nelayan Marunda Kepu
Tujuannya agar mereka tidak “adu banteng” saat di pertengahan Tanjakan Lengkong.
Panjang Tanjakan Lengkong yang sudah diaspal ini berkisar 15 meter, lebar 1 meter, dengan kondisi melengkung.
Di sisi kanan Tanjakan Lengkong, terdapat sebuah tangga kecil yang terbuat dari semen untuk warga lokal melintas ketika berjalan kaki.
“Saya tinggal di sini dari tahun 1992. Dari dulu, tanjakan ini sudah ada untuk warga lokal. Cuma, kondisinya plur, bukan aspal. Jadi, ya licin,” kata salah satu penjaga Tanjakan Lengkong bernama Arifin (57) saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (23/1/2024).
“Ini namanya Tanjakan Lengkong. Dari dulu, orangtua kami bilangnya lengkong, karena bentuknya melengkung,” ucap Arifin melanjutkan.
Seiring berjalannya waktu, kondisi Tanjakan Lengkong mulai diaspal karena konturnya yang licin dan membahayakan pengguna jalan.
Namun, saat itu belum banyak orang yang melintas Tanjakan Lengkong seperti sekarang.
Memasuki Oktober 2019, Tanjakan Lengkong mulai banyak dilintasi pengguna jalan. Para pengendara sepeda motor menganggap ini sebagai jalan alternatif menuju Poltangan dan sekitarnya.
Mereka ingin memangkas waktu dan ogah terjebak macet mengingat ada pembangunan flyover Tapal Kuda Tanjung Barat.
Pada periode waktu tersebut, sering terjadi keributan antar pengendara sepeda motor.
Baca juga: Menengok Permukiman Kumuh di Sempur, Tak Jauh dari Istana Bogor
“Sebelum 2020 enggak ada yang jaga. Cuma, (pengguna jalan) banyak keluar (omongan) binatang (sumpah serapah), rebutan, main dulu-duluan, kesadarannya kurang,” ucap Arifin.