JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan, warga yang bermukim di akses jalan tikus sah-sah saja apabila mereka meminta uang sumbangan kepada pengendara motor yang melintas di sana.
Nirwono bahkan menegaskan bahwa hal ini bukanlah tindakan pungutan liar (pungli), melainkan upaya swadaya untuk perbaikan jalan.
“Bukan (pungli). Kalau warga ingin swadaya memperbaiki jalan, maka tidak menutup kemungkinan, dengan cara meminta sumbangan dari pelintas jalan yang melewati jalan tikus,” kata Nirwono kepada Kompas.com, Rabu (19/6/2024).
Baca juga: Potret Jalan Tikus Pasar Minggu: Idola Pengendara yang Tak Berpayung Hukum
Nirwono melanjutkan, pengumpulan dana secara swadaya menjadi salah satu cara untuk membiayai perbaikan jalan tikus. Kalau pun mengajukan bantuan pemerintah, kata Nirwono, upaya ini belum tentu segera ditanggapi.
“Karena kalau mengikuti aturan pemerintah misalnya, harus mengajukan usulan, perbaikan itu bisa entah kapan dibangun. Itu sudah pasti akan membutuhkan waktu lama,” ujar Nirwono.
Baca juga: Pengamat Sebut Jalan Tikus Kerap Tak Dianggap, Perbaikan Butuh Waktu Lama
Di sisi lain, Nirwono memahami dilema warga setempat akan stigma pungli berkait penarikan uang sumbangan dari pengendara motor di jalan tikus.
Namun, kata dia, warga setempat bisa melakukan transparansi dana agar anggapan pungli tak lagi ada.
“Misal, melaporkan uang yang masuk dari para pelintas setiap hari dengan memasang papan pengumuman, kan transparansi mereka bisa dilihat bahwa ini benar-benar dilakukan swasembada masyarakat,” ucap Nirwono.
Kalau warga transparan sejak awal, menurut Nirwono, para pengendara di jalan tikus akan sukarela membayar dengan jumlah yang besar.
Baca juga: Jalan Tikus di Jakarta, Tempat Perputaran Ekonomi Warga Setempat
“Karena mereka menggunakan jalan tersebut. Artinya mereka juga diuntungkan sebenarnya (dengan adanya perbaikan jalan),” kata Nirwono.
Di sisi lain, meski keberadaan jalan tikus “tak dianggap” dalam Undang-Undang, pemangku wilayah setempat tetap harus peka dengan kondisi warganya.
“Jangan lupa, ini kan daerah wilayah binaan mereka (pemerintah daerah). Suka tidak suka, artinya kalau warga membutuhkan, maka kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan,” tutur Nirwono.
Mengingat statusnya “tak diakui” oleh Undang-Undang, Nirwono mengungkapkan, pemerintah daerah sangat mungkin untuk memberikan dana hibah.
“Jadi tidak dianggarkan. Kalau dianggarkan ya lama prosesnya. Apalagi tadi, secara aturan tidak diakui, pasti tidak masuk ke anggaran,” imbuhnya.
“Tetapi kalau itu berupa dana hibah, bantuan masyarakat, itu kan boleh karena dana hibah itu bisa digunakan untuk membangun masjid, membangun saluran air, bahkan memperbaiki jalan tikus. Jadi lebih kepada penggunaannya saja,” lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.