Mereka meluangkan waktu, pikiran, harta, dan kemampuannya untuk memotivasi kelompok masyarakat yang terpenjara dalam keputusasaan dan penyakit menjadi manusia yang berharga. Mereka bukan pejuang dalam situasi perang, mereka yang bukan siapa-siapa menjadi pahlawan di tengah kota yang tak acuh dan anomi ini.
@hanamadness
Akan tetapi, siapa sangka jika di usia begitu muda, ditambah penyakit yang diidapnya, kini ia justru mampu bertahan dan hidup mandiri berbekal bakat yang terus diasahnya.
Hana pun tidak pernah membayangkan hidupnya bisa berbalik menjadi lebih baik. Sejak kecil, Hana tahu ada yang tidak beres dengan dirinya. Menginjak SMP, ia malah pernah minta kepada ibunya untuk dibawa ke psikiater.
”Tetapi, orangtua belum terbuka untuk masalah itu. Tanpa dukungan mereka, waktu SMP-SMA itu saya sering kali depresi, mengurung diri di kamar berhari-hari,” katanya.
Hana juga kurang cocok dengan teman-teman di sekolah sehingga ia cenderung mencari orang yang bisa menerimanya di luar sekolah dan keluarga. Tidak heran ia sering kabur dari rumah, sampai diusir oleh orangtuanya.
Saat kabur dari rumah terakhir kali, ada teman yang membawanya ke psikiater. ”Baru deh saya tahu apa yang terjadi pada diri saya,” kata Hana.
Bertemu di tempat tinggalnya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, awal Mei lalu, Hana tampil ceria. Sosoknya mudah dikenali. Cantik dengan rambut lurus panjang serta tato menghias sebagian anggota tubuhnya.
Sejak dulu, tato menjadi salah satu pelarian Hana ketika dirinya merasa kesakitan dan tidak tahu harus berbuat apa untuk meredakannya. Ia sendiri yang mendesain tatonya.
Menggambar dan mendesain untuk berbagai produk, seperti kaus, stiker, sampai kartu pos, merupakan bakat terbesarnya. Beberapa coretan tangannya telah dibeli oleh perusahaan korek api gas terkenal dan menghiasi produk khusus perusahaan itu.
Hana mengatakan, mandiri dengan mengelola bakatnya membuat ia merasa hidup dan amat normal. Ia kini tetap menerapkan perawatan kesehatan ketat sebagai penderita bipolar dan skizofrenia. Hubungan dengan orangtua dan keluarganya yang dulu buruk kini membaik.
Tak sebatas itu, Hana juga aktif menjadi pembicara dan motivator dalam berbagai diskusi ataupun seminar terkait bipolar dan skizofrenia. ”Beberapa pekan lalu, saya diundang ke Bandung untuk jadi pembicara bersama ahli jiwa yang sudah lulus S-3,” kata Hana saat ditemui di tempat tinggalnya.
Pengalaman dirawat di banyak tempat perawatan bagi pengidap skizofrenia menyebabkan ia bisa berempati bagi sesama penderita. Ia juga meminta masyarakat menghentikan memanggil penderita seperti dirinya sebagai orang gila.
Cap gila itu membuat penderita skizofrenia merasa tak berharga. Padahal, dengan perawatan kesehatan yang benar dan dukungan keluarga, mereka bisa hidup mandiri, bahkan bermanfaat bagi orang lain. (Neli Triana/Priyombodo)