Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ihwal Pejalan Kaki

Kompas.com - 03/07/2015, 22:47 WIB

KOMPAS - Kita sih senang aja kalau kopaja bisa masuk busway. Tapi dia harus tetep bisabrenti di mana aja. Kalau cuma brenti di halte transjakarta, kasian kitanya mesti jalan jauh-jauh,” begitu kira-kira kata seorang ibu saat diwawancara reporter televisi beberapa waktu lalu.

Selama ini, kopaja, seperti angkutan umum lainnya bisa berhenti di mana saja untuk menaikturunkan penumpang. Bahkan, sempat ada canda bahwa Ibu Kota merupakan terminal terbesar di dunia karena penumpang bisa turun naik angkutan umum di mana saja. Penumpang tinggal teriak ”Kiri!” atau ”Stop pinggir” dan sopir segera mengerem kendaraannya.

Banyak hal yang menyebabkan sopir angkutan umum memberhentikan kendaraan di mana saja. Karakteristik Jakarta, seperti juga kota-kota lain di Indonesia, dengan jaringan jalan yang pelik dan pusat kegiatan tersebar di mana-mana menyebabkan orang juga harus berhenti di mana saja. Namun, di antara banyak hal itu, kemalasan warga Ibu Kota untuk berjalan kaki juga sudah kebangetan. Untuk jarak beberapa ratus meter saja, mereka lebih suka naik angkutan kota, mikrolet, atau metromini dan kopaja daripada berjalan kaki.

Cuaca panas dan terik matahari menjadi alasan orang untuk berjalan kaki. Ongkos ketengan angkutan umum juga menyebabkan orang dengan gampang mengeluarkan seribu-dua ribu perak daripada menggerakkan kakinya. Di tengah kemanjaan—tepatnya kemalasan—berjalan kaki itulah kemudian tumbuh ojek.

Ojek menawarkan jasa dan semakin memanjakan warga yang malas jalan kaki. Peluang itu yang kemudian ditangkap pengelola Go-Jek dan ”menaikkan kelas” ojek di Ibu Kota. Kini, di antara ribuan sepeda motor, ojek ataupun bukan, para pengendara berjaket dan berhelm hijau Go-Jek berseliweran. Kemudian, muncul penolakan para tukang ojek tradisional terhadap kehadiran mereka. Gilirannya, polisi bersiaga mengantisipasi kemungkinan gesekan anta mereka.

Begitulah antara lain masalah di Jakarta tumbuh.

Sementara para pejalan kaki seperti luput dari perhatian Pemprov DKI Jakarta. Potret trotoar di Ibu Kota adalah cerminan bagaimana pengelola kota menghargai para pejalan kaki. Padahal, di mana pun para pejalan kaki itu ditempatkan pada peringkat utama dalam hierarki pengguna jalan. Mereka harus mendapatkan fasilitas pejalan kaki yang memadai dengan aksesibilitas yang baik menuju pusat-pusat kegiatan, halte, terminal, dan stasiun kereta api.

Kekurangperhatian pemerintah terhadap pejalan kaki itu diikuti para pengguna jalan yang berada di hierarki di bawahnya. Para pengguna jalan yang mengandalkan mesin—baik beroda dua maupun empat—tidak terlihat menghargai pejalan kaki sebagai pengguna jalan ”paling lemah”. Zebra cross, tempat penyeberangan jalan, diserobot para pengendara sepeda motor yang berhenti di atasnya saat lampu lalu lintas menyala merah.

Di kebanyakan negara yang saya ketahui, kebijakan lalu lintas yang sama memang diberlakukan: pejalan kaki didahulukan. Prinsipnya adalah bahwa ”yang lebih lemah” harus didahulukan daripada yang lebih kuat, terutama yang bermesin.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama beberapa waktu lalu sempat mengakui, infrastruktur untuk pejalan kaki di Jakarta belum memadai. Tetapi, untuk lebih memanusiakan warga Jakarta agar mau dan suka berjalan kaki, pernyataan saja tidak cukup. Perlu langkah lebih konkret dari Gubernur. (Agus Hermawan)

________________________

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juli 2015, di halaman 27 dengan judul "Ihwal Pejalan Kaki".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ayah di Jaktim Setubuhi Anak Kandung sejak 2019, Korban Masih di Bawah Umur

Ayah di Jaktim Setubuhi Anak Kandung sejak 2019, Korban Masih di Bawah Umur

Megapolitan
Sempat Tersendat akibat Tumpahan Oli, Lalu Lintas Jalan Raya Bogor Kembali Lancar

Sempat Tersendat akibat Tumpahan Oli, Lalu Lintas Jalan Raya Bogor Kembali Lancar

Megapolitan
Ibu di Jaktim Rekam Putrinya Saat Disetubuhi Pacar, lalu Suruh Aborsi Ketika Hamil

Ibu di Jaktim Rekam Putrinya Saat Disetubuhi Pacar, lalu Suruh Aborsi Ketika Hamil

Megapolitan
Komnas PA Bakal Beri Pendampingan Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah

Komnas PA Bakal Beri Pendampingan Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah

Megapolitan
Penanganan Kasus Pemerkosaan Remaja di Tangsel Lambat, Pelaku Dikhawatirkan Ulangi Perbuatan

Penanganan Kasus Pemerkosaan Remaja di Tangsel Lambat, Pelaku Dikhawatirkan Ulangi Perbuatan

Megapolitan
Pendaftaran PPDB Jakarta Dibuka 10 Juni, Ini Jumlah Daya Tampung Siswa Baru SD hingga SMA

Pendaftaran PPDB Jakarta Dibuka 10 Juni, Ini Jumlah Daya Tampung Siswa Baru SD hingga SMA

Megapolitan
Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Megapolitan
Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Megapolitan
Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Megapolitan
Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Megapolitan
Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Megapolitan
Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi 'Pilot Project' Kawasan Tanpa Kabel Udara

Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi "Pilot Project" Kawasan Tanpa Kabel Udara

Megapolitan
Keluarga Korban Begal Bermodus 'Debt Collector' Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Keluarga Korban Begal Bermodus "Debt Collector" Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Megapolitan
Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com