Berbatasan langsung dengan Waduk Setiabudi, sebuah kampung di kolong jembatan itu memiliki akses terbatas. Satu-satunya jalan yang bisa diakses paling mudah adalah dari jalan satu arah di sebelah kiri Hotel Four Seasons, Setiabudi.
Di luarnya, tampak deretan warung yang cukup ramai dikunjungi karyawan atau sopir taksi yang mangkal dekat waduk.
Di balik warung, ada sebuah beton besar yang memiliki ruang setinggi kira-kira 1 meter. Itulah akses masuk ke kampung tersebut.
Karena itu, orang dewasa harus berjalan dengan menunduk saat melewatinya. Saat melewati ruang beton itu, deretan rumah semipermanen yang terbuat dari triplek mulai terlihat.
Setiap rumah hanya memiliki luas sekitar 2 x 2 meter. Untuk dapur, kamar mandi, dan mushala, semuanya dipakai bersama-sama di luar rumah.
Di depan rumah-rumah itu, tampak beberapa bangku yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk duduk-duduk penghuninya.
Seperti hari ini, Kamis (6/8/2015), sejumlah warga tampak asyik duduk-duduk di sana sambil menyeruput kopi dan memakan gorengan. Robinur (38), salah satu warga, mengaku telah tinggal di sana sejak tahun 1999.
Ia termasuk penghuni baru sebab ruang di kolong jembatan itu sudah dihuni sejak tahun 1980-an.
"Awalnya cuma tinggal sendiri, kemudian bawa anak dan istri. Ya beginilah, tinggal di sini saja dari dulu," ujarnya kepada Kompas.com.
Kampung kolong memang telah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Kini, kampung kolong itu dihuni oleh 77 keluarga sehingga orang yang tinggal di sana pun berjumlah ratusan.
"Orang-orang nyebutnya kita ini orang kolong," kata Usup bin Syitap (65), salah satu warga tertua yang tinggal di kampung kolong.
Rumah-rumah di sana kebanyakan terdiri dari dua lantai. Lantai duanya lebih banyak mengandalkan beton jembatan.
Para penghuninya membangun sendiri rumah-rumah tersebut dengan triplek dan kayu-kayu seadanya sehingga konstruksinya pun tidak beraturan.
Meski begitu, fasilitas yang dimiliki sebagian rumah cukup komplet, misalnya televisi, kipas angin, bahkan mesin ventilator untuk mengeluarkan udara panas.
Menurut Usup, kampung kolong memiliki sumber listrik resmi dan berbayar. Setiap bulan, mereka patungan membayar iuran listrik.
Di sana, juga terdapat enam kamar mandi yang dipakai bersama-sama. Mereka mengaku juga mendapat air bersih dengan cara membayar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.