JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat, saat ini jumlah perjalanan dengan kendaraan di wilayah Jabodetabek setiap harinya mencapai 40,5 juta perjalanan. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 15 persen yang merupakan perjalanan dengan menggunakan angkutan umum.
Terlalu banyaknya pengguna kendaraan pribadi disebut telah menyebabkan meningkatnya volume kendaraan di jalan yang berimbas pada kemacetan dan lamanya waktu tempuh.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menilai, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mendorong warga pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum.
Misalnya dengan menaikkan tarif parkir, tarif tol, dan mempercepat penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Dengan cara ini, ia yakin pengguna kendaraan pribadi akan merasa "disiksa".
"Di kota-kota di negara maju, pengguna kendaraan pribadi juga disiksa dengan tarif mahal. Baik tolnya, parkirnya, ERP-nya," kata Yayat dalam diskusi "Angkutan Permukiman Solusi Mengurai Kemacetan" di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (7/2/2017).
Menurut Yayat, penerapan tarif parkir, tol, dan ERP harus diimbangi dengan menaikkan subsidi sebesar mungkin untuk angkutan umum.
Ia memuji langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kini sudah memperluas layanan transjakarta ke daerah-daerah sekitar dengan tarif hanya Rp 3.500.
"Kalau DKI nanti ada ERP, saya yakin selesai itu (masalah kemacetan). Tinggal berani enggak sekali masuk ERP nanti Rp 100.000, Rp 50.000. Bandingkan dengan transjakarta yang hanya Rp 3.500," ujar Yayat.
Yayat menilai, tarif menjadi kekuatan yang bisa mengubah perilaku masyarakat. Namun, untuk bisa mewujudkan hal itu, Yayat menilai perlu ada dukungan dari pemerintah pusat.
"Jadi kalau parkirnya dimahalin, tapi ada subsidi angkutan umum, pasti mereka mikir. Kalau saya jadi Gubernur DKI, saya tinggikan ERP, tapi saya gratiskan angkutan umum," ujar Yayat.