Peserta Keraton Surakarta Hadiningrat berada di urutan terdepan kirab budaya. Puluhan prajurit, 28 orang di antaranya abdi dalem keraton, berpakaian sorjan lengkap dengan tombak berbaris rapi. Di depan barisan tampak patung sejumlah hewan serta satu rumah joglo sebagai simbolisasi perpindahan keraton.
Dikutip dari salah satu blog, perpindahan keraton itu ditentukan oleh kondisi keraton Kartasura yang rusak berat akibat peritiwa Geger Pacina tahun 1742. Geger bermula dari kebijakan VOC demi mengurangi jumlah warga Tionghoa di Batavia tahun 1740. Orang Tionghoa melarikan diri dan meminta dukungan. Dukungan didapat dari penguasa Mataram Kertasura, yakni Pakubuwana II.
Namun, seiring dengan waktu, keragu-raguan muncul. Pakubuwana berubah arah jadi mendukung kompeni dan menangkap patihnya sendiri, Adipati Natakusuma, lalu membuangnya ke tempat lain. Pada satu sisi, pemberontak Tionghoa terus berlanjut. Mereka malah mendapatkan dukungan dari banyak bupati sekitar keraton, bahkan dari keturunan raja sebelumnya, Mas Garendi, sehingga ada perpecahan dalam keraton.
Geger Pacina tak terhindarkan. Sempat terjadi perebutan kekuasaan antara Mas Gerendi dan Pakubuwana II. Keraton akhirnya berhasil direbut Pakubuwana II pada akhir tahun 1742. Kendati demikian, kondisi istana telah porak poranda. Terlebih lagi, perlawanan oleh pemberontak terus-menerus diterima pihak keraton yang pada akhirnya memaksa Pakubuwana II memutuskan untuk memindahkan keraton ke tempat lainnya.
Pakubuwana II mengutus Patih Jawi Adipati Pringgalaya, Patih Lebet Adipati Sindureja, Mayor Hogendrop, serta beberapa ahli nujum, seperti Tumenggung Hanggawangsa, Magkuyuda, serta Puspanegara, mencari tempat baru untuk keraton mereka.
Seusai menilik beberapa tempat, mereka pun memutuskan Desa Sala (kini bernama Solo), sebagai pusat keraton mereka yang baru. Proses pembangunan keraton itu berlangsung dari tahun 1743 hingga 1745. Rabu Pahing, 17 Sura Sesengkalan, 1745 Masehi atau 17 Februari 1745, adalah hari resmi perpindahan Keraton Kertasura menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat hingga saat ini.
Secara tersirat, filosofi itu relevan dengan konteks politik saat ini, perpindahan kekuasaan. Jokowi hijrah dari Wali Kota Surakarta untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, kemudian digadang-gadang untuk hijrah ke level yang lebih tinggi, yakni presiden.
Apakah cuplikan sejarah itu ditampilkan sebagai "petunjuk" arah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk maju menjadi presiden di Pilpres 2014 mendatang? Jokowi hanya tersenyum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.