JAKARTA, KOMPAS.com — Standar pelayanan minimum perkeretaapian tengah dievaluasi. Evaluasi ini diharapkan membawa kemajuan pelayanan perkeretaapian yang terukur dan bisa dinilai bersama.

Saat ini, standar pelayanan minimum (SPM) yang berlaku diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2011 tentang SPM untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko, Minggu (13/4/2014), mengatakan, revisi SPM tengah dilakukan. ”Kami terus menjaring aspirasi berbagai kalangan dari sejumlah daerah untuk perbaikan SPM ini,” katanya.

SPM kali ini, menurut Hermanto, diharapkan bisa dipenuhi di lapangan. Jika standar terlalu tinggi dan tidak bisa dipenuhi, SPM tidak berguna. Di sisi lain, Hermanto menolak jika SPM diturunkan sehingga harus mengorbankan aspek keselamatan. Dia berharap SPM hasil revisi ini bisa selesai September 2014.

Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo mengatakan, Kementerian Perhubungan sebagai regulator tidak bisa memaksakan operator untuk melakukan standar tingkat mutu tertentu dengan keterbatasan infrastruktur dan tarif yang ditetapkan pemerintah.

”Regulator seharusnya menetapkan indikator pelayanan yang harus dicapai operator, seperti ketepatan waktu. Sementara operator menetapkan batas toleransi keterlambatan yang bisa dicapai dengan kondisi yang ada saat ini dan secara berkala batas ini dinaikkan. Hal ini lantas dideklarasikan ke penumpang, termasuk kompensasi yang diterima konsumen jika pelayanan yang diberikan tidak memenuhi standar. Konsumen juga harus paham bahwa kondisi infrastruktur perkeretaapian kita sangat terbatas sehingga mustahil meniadakan gangguan perjalanan sama sekali. Tetapi, gangguan yang terjadi terus-menerus juga merugikan konsumen,” kata Sudaryatmo.

Standar yang akan diterapkan di setiap daerah atau rangkaian kereta api, menurut Sudaryatmo, sangat mungkin berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan kondisi infrastruktur perkeretaapian di setiap wilayah berbeda-beda.

Ketua Forum Teknologi dan Inovasi Perkeretaapian Taufik Hidayat menilai, SPM yang berlaku saat ini tidak pernah dievaluasi meskipun disyaratkan adanya evaluasi setiap enam bulan sekali. Akibatnya, SPM yang ada saat ini tidak selalu menjadi acuan di lapangan.

”SPM hasil revisi nanti harus memiliki ukuran yang jelas sehingga setiap pihak bisa mengacu pada ukuran itu untuk menentukan apakah pelayanan perkeretaapian ini sudah baik atau belum,” ujarnya.

Taufik mencontohkan, definisi keamanan selama perjalanan dengan kereta harus jelas dan terukur, semisal perlu adanya petugas keamanan dalam jumlah tertentu atau adanya kamera pengintai di dalam kereta. Dengan demikian, setiap pihak bisa mengetahui secara pasti kondisi pelayanan di setiap perjalanan kereta api.

SPM ini, menurut Taufik, seharusnya diberlakukan sebagai batas minimal pelayanan yang diterima konsumen. Dengan evaluasi berkala, standar dinaikkan.

Kenaikan SPM berkaitan dengan pengeluaran operator untuk meningkatkan pelayanan. Hal ini berimbas pada harga tiket. Jika pemerintah berkeinginan menetapkan harga tiket, Taufik berpendapat, subsidi lewat public service obligation (PSO) harus ditambah.

Perubahan pelayanan perkeretaapian yang sudah dilakukan saat ini juga harus diakomodasi dalam SPM. Sebagai contoh, penerapan tiket elektronik dan pemberlakuan satu kelas di kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek harus dibuatkan SPM yang sesuai dengan peningkatan pelayanan yang sudah dilakukan.

Dia berpendapat, SPM harus fokus pada pelayanan kepada konsumen. Hal ini lantas menjadi kesepakatan regulator, operator, dan pengguna jasa. (ART)