JAKARTA, KOMPAS.com — Jakarta sedang menghadapi masalah perumahan yang kronis. Sederet program hunian belum mampu menutup kebutuhan warga. Sementara penataan permukiman kumuh dan hunian liar di area resapan air tidak banyak mengubah keadaan. Butuh terobosan tepat untuk mengatasi ketimpangan tersebut.

Direktur Utama Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) Himawan Arief Sugoto, Selasa (29/4), mengatakan, dibandingkan dengan kota-kota di negeri tetangga seperti Singapura, Jakarta jauh tertinggal. Singapura mulai menata permukiman menjadi hunian vertikal sejak tahun 1960-an. Kota-kota seperti Manila di Filipina dan Bangkok di Thailand yang sempat sama semrawutnya seperti Jakarta kini pelan-pelan mulai berubah dan permukimannya semakin tertata.

”Menata permukiman merupakan kunci menata kota karena dengan penataan ruang yang makin efektif, disertai pembangunan jaringan transportasi, kota makin nyaman dihuni,” katanya.

Tata permukiman di Jakarta yang tertinggal jauh membutuhkan penanganan segera. Bermacam cara diperlukan untuk menutupi kebutuhan dan menata permukiman agar lebih baik. Himawan mengapresiasi konsep kampung deret yang kini gencar dilakukan di beberapa lokasi kumuh di Jakarta.

Menurut Himawan, penyediaan rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa menjadi cara ampuh mengatasi tingginya kebutuhan rumah di Jakarta.

Perumnas menawarkan kerja sama dengan DKI membangun rusunawa dan rusunami. ”Seperti di Kemayoran, Jakarta Pusat, kami punya sekitar 14 hektar lahan. Kami siap bekerja sama dengan DKI untuk membangun rusunawa dan rusunami. Tanah seluas itu bisa untuk 20.000 unit hunian,” katanya.

Menurut Himawan, penyediaan hunian MBR butuh intervensi pemerintah. Selain subsidi langsung sehingga harga jual atau sewa rumah bisa murah, perlu banyak penyederhanaan prosedur dan kerja sama antarinstansi, termasuk dukungan dan peran penting pemerintah daerah.

Golongan menengah

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat berkunjung ke Kompas, Selasa sore, tidak setuju dengan konsep rusunami. ”Ketika jadi hak milik dan kita tidak mempunyai mekanisme yang pas untuk mengawasi penggunaannya, banyak penyimpangan terjadi. Rusun dijual lagi ke orang lain. Penghuni lama kembali ke pinggir sungai dan rusun dihuni oleh orang yang tak berhak di sana,” katanya.

Bagi Basuki, akan lebih baik jika disediakan sebanyak-banyaknya rusunawa disertai sederet aturan tegas dan pengawasan sehingga tidak terjadi penyimpangan. ”Kalau sewa, pemerintah masih bisa turun tangan kalau ada apa-apa. Namun, kalau hak milik, begitu lunas dibayar, itu sudah sepenuhnya hak penghuni,” katanya.

DKI akan mengarahkan masyarakat golongan menengah tinggal di luar kota. Pengembangan hunian di luar kota sejalan dengan pengembangan jaringan transportasi memadai. ”Kami berencana beli lahan di luar kota untuk hunian pekerja Jakarta,” katanya.

Senada dengan Basuki, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Yonathan Pasodung mengatakan, rusunami untuk masyarakat menengah sulit diterapkan. Sebab, perlu sistem seleksi yang rumit bagi penghuni. (NEL/NDY)