Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Tahun Mengurus Sampah, Upah Selalu Dikebiri

Kompas.com - 10/07/2014, 17:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir dua tahun terakhir Kukun (33) blusukan mengumpulkan sampah di kolong-kolong kios pasar Karet Belakang, Setia Budi, Jakarta Selatan. Selama dua tahun pula ia tidak pernah menerima gaji yang dijanjikan dalam kontrak. Tidak tanggung-tanggung, gaji yang diterima hanya setengah dari kontrak.

Kukun adalah salah seorang petugas kebersihan Pasar Karbela. Bersama Yanto (52), dan tiga rekannya, mereka berlima bertugas membersihkan pasar tradisional ini.

Setiap pagi, sejak pukul 06.00 ia mulai melaksanakan tugasnya. Dengan bekal kotak kayu sebagai tempat penampungan sampah, ia bergegas menyisir setiap sudut-sudut pasar.

Indera penciumannya seakan telah menyatu dengan aroma pasar tersebut. Di tengah bau menyengat yang berasal dari sisa perut ikan, rempah-rempah, dan keringat orang-orang, ia nyungsep ke kolong-kolong meja, mengumpulkan setiap jenis sampah.

Ia baru berhenti mengumpulkan sampah jika waktu telah menunjukkan pukul 18.00. Begitu rutinitasnya setiap hari, tujuh hari seminggu.

”Yah, kalau tidak masuk gaji dipotong. Jadi harus rajin,” kata Kukun, pekan lalu.

Akan tetapi, berbeda dari rekan lainnya yang dikontrak PD Pasar Jaya, Kukun adalah tenaga kontrak dari sebuah perusahaan rekanan Dinas Kebersihan DKI Jakarta sejak 2012. Awalnya, status tenaga kontrak tersebut sempat membuatnya bahagia. Sebab, gaji dalam kontrak yang ia tanda tangani telah sesuai upah minimum provinsi (UMP), hingga mencapai Rp 2,4 juta per bulan pada 2013.

Sayangnya, hingga saat ini ia mengaku hanya menerima Rp 1 juta setiap bulannya. Naik Rp 200.000 setelah setahun sebelumnya hanya menerima Rp 800.000.

”Gak tahu juga, Mas. Waktu tanda tangan dua tahun lalu, gaji yang ada dalam kontak dua jutaan. Namun, saat gajian, kata orang (perusahaan) dibagi dua sama Yanto. Yah, mau gimana lagi, kami tahunya cuma kerja,” ujar pria lulusan SMA ini.

Meski sebagai petugas lapangan dengan tugas paling berat, ia tidak pernah menanyakan kepada perusahaan mengenai model penggajian yang ia terima. Ia juga tak pernah tahu ke mana sisa uang Rp 400.000 setiap bulannya. Setiap bulan, secara tunai ia hanya menerima Rp 1 juta.

Ayah dari seorang putri ini hanya menerima upah yang tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap bulan, ia harus mengeluarkan setengah dari upah itu untuk membayar sebuah kamar kontrakan berukuran 4 meter x 5 meter di Johar Baru. Separuhnya lagi, ia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan putri semata wayangnya, Kayla (3).

Itu sebabnya ia harus pandai-pandai mengatur dengan baik setiap pengeluarannya.

Untung saja ia sering dimintai tolong oleh beberapa pedagang di pasar ini. Dari kerjaan sampingan seperti tukang angkut, tukang antar, atau tukang jaga, ia mendapatkan penghasilan tambahan.

Namun, uang yang didapatnya tersebut tidak bertahan lama. Sebab, uang tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Karut-marut pengupahan

Kisah Kukun adalah contoh karut-marut model pengupahan di Ibu Kota ini. Penggajian pekerja kebersihan yang bermasalah tersebut ada yang dikontrak PD Pasar Jaya, juga yang dikontrak Dinas Kebersihan. Sederet masalah kerap membelit, di antaranya keterlambatan gaji, ketidakadilan penggajian, ataupun pemotongan gaji.

Seperti diberitakan Kompas (22/5), seorang penyapu jalan di Sunter, Jakarta Utara, St (43), juga belum menerima upah seperti yang dijanjikan, yakni Rp 2,4 juta per bulan. Pada Januari-Februari 2014, dia malah hanya menerima Rp 2,5 juta atau Rp 1,25 juta per bulan. ”Upah April (2014) juga belum cair,” kata St.

Sejak awal 2014 ini, pemerintah telah memutus kontrak tahunan perusahaan swasta. Semua petugas kebersihan juga telah diminta untuk menyetorkan nomor rekening pribadi kepada Pemprov DKI.

Program ini menekankan agar honor pekerja bisa langsung ditransfer tanpa ada pungutan atau risiko penyalahgunaan oleh perusahaan rekanan. Sayangnya, kondisi ideal masih sangat jauh dari harapan. Diperlukan pengawasan yang lebih maksimal agar kisah Kukun tidak berulang. (A10)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Prabowo-Gibran Belum Dilantik, Pedagang Pigura: Belum Berani Jual, Presidennya Masih Jokowi

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Sendiri Pakai Senpi

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

2 Pria Rampok Taksi Online di Jakbar, Leher Sopir Dijerat dan Ditusuk

Megapolitan
Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Polisi Periksa Kejiwaan Orangtua yang Buang Bayi ke KBB Tanah Abang

Megapolitan
Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Golkar Buka Peluang Lanjutkan Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada DKI 2024

Megapolitan
Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Di Tanah Tinggi Hampir Mustahil Menyuruh Anak Tidur Pukul 10 Malam untuk Cegah Tawuran

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com