JAKARTA, KOMPAS.com — Kota-kota di dunia sedang mencari cara baru untuk menjadi kota yang cerdas dan nyaman. Pemimpin kota dituntut kreatif dalam meningkatkan kualitas kota dengan menciptakan lebih banyak ruang terbuka hijau, mengurangi mobilitas warga, dan memanfaatkan teknologi.

Demikian mengemuka dalam Kongres Dunia ke-24 Eastern Regional Organization for Planning and Human Settlements (EAROPH), Senin (11/8), di Jakarta. Kongres kali ini bertajuk ”Towards Smart and Resilient Cities”.

EAROPH merupakan organisasi multisektoral yang didirikan guna mendorong pertukaran dan wawasan antarnegara di kawasan Asia Pasifik. Anggotanya, antara lain, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Indonesia, India, Hongkong, Filipina, Banglades, dan Thailand.

Wakil Menteri Perhubungan Hermanto Dardak, yang juga Presiden EAROPH, dalam sambutannya, mengatakan, kota-kota di dunia memasuki fase urbanisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. ”Kota menjadi kelebihan beban. Terjadi degradasi kualitas lingkungan, konsumsi energi yang banyak, dan polusi. Kota-kota di Asia Pasifik juga rawan terpapar dampak perubahan iklim,” katanya

Dengan tingkat kepadatan yang semakin tinggi, kota-kota harus mampu menjawab dampak urbanisasi, yaitu dengan tata guna lahan, pembangunan berorientasi transportasi publik, dan teknologi mutakhir.

Hermanto mencontohkan, kota New York di Amerika Serikat berjuang agar tempat tinggal warganya berjarak 10 menit berjalan kaki dari ruang terbuka.

Vancouver di Kanada dan Melbourne di Australia mendeklarasikan diri sebagai kota hijau dengan memanfaatkan kendaraan bertenaga listrik dan memaksimalkan fungsi media sosial.

Transportasi murah

Jakarta tak ketinggalan hendak menuju kota cerdas dan nyaman untuk ditinggali. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, Jakarta mulai membenahi transportasi umum, memindahkan warga yang tinggal di bantaran kali atau waduk ke rumah susun sederhana sewa, dan melengkapi kota dengan Wi-Fi dan kamera pemantau.

”Dalam konsep kami, yang namanya kota cerdas adalah kota yang bisa menyediakan transportasi murah dan subsidi untuk transportasi umum sehingga warga memiliki ruang dan waktu untuk kreatif. Yang terpenting harus konsisten dalam peruntukan lahan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Basuki, elemen terpenting dalam sebuah kota cerdas adalah manusianya. Manusia yang kreatif dan inovatif akan bertahan, sementara yang tidak sanggup akan tergeser. Tugas pemerintah adalah menopang warga yang kurang beruntung melalui program perumahan murah, pasar rakyat, bantuan pendidikan, dan layanan kesehatan.

Bertukar pengalaman

Dalam Kongres Dunia ke-24 EAROPH itu digelar pula kaukus para wali kota dari beberapa daerah di Indonesia dan mancanegara. Mereka saling bertukar pengalaman dalam membangun kota yang cerdas dan nyaman.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, Surabaya sudah memulai pelayanan publik dalam jaringan (online). Selain murah bagi warga, cara ini bisa memangkas birokrasi.

”Misalnya untuk mengurus akta kelahiran, warga tidak perlu lagi datang ke kantor pemerintah. Mereka cukup mengisi data secara online dan setelah akta selesai, petugas akan mengantar ke rumah,” tuturnya.

Risma juga tengah merintis semacam Silicon Valley di Surabaya. Dia memulai dengan memberikan beasiswa bagi pelajar SMK hingga D-1 atau D-3 khusus untuk belajar teknologi informasi.

Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, langkah pertama untuk menjadikan Bogor kota cerdas dan nyaman adalah merevisi kebijakan tata guna lahan. ”Landasan pembangunan kota harus direvisi karena kurang detail dan kurang menggambarkan semangat mengantisipasi perubahan. Saya akan perketat perizinan karena 80 persen kesemrawutan kota disebabkan pelanggaran perizinan,” katanya.

Pada kesempatan itu, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia merilis survei kota yang paling nyaman ditinggali di Indonesia tahun 2014. Dari 17 kota yang disurvei, ada tujuh kota dengan indeks kenyamanan tertinggi, yaitu Balikpapan, Solo, Malang, Yogyakarta, Makassar, Palembang, dan Bandung. (FRO)